Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2015

Shabrin #3

“Turun ya Brin. Mbak Tya capek” Kulihat Shabrin hanya mengangguk saja. Kulihat wajahnya gembira begitu sampai. Ku raih tangan kirinya untuk ku gandeng. Shabrin malah yang menggandengku menuju rak berisi agar-agar dan susu kotak. Sepertinya, Shabrin sudah terlampaui sering kesini sampai hafal letaknya. Di rak bagian bawah sendiri tertata berbagai merk agar-agar. Shabrin disibukkan memilih. Aku hanya mengawasi tepat disampingnya. Setelah lama memilih, akhirnya Shabrin menemukan agar-agar yang cocok. Ternyata, agar-agar yang dimaksud Shabrin adalah agar-agar kecil setengah lingkaran berwarna-warni yang ditengahnya ada potongan kecil nata de coco siap makan. Kali ini akan berburu susu kotak. Susu kotak ternyata tepat diatas rak agar-agar. Tingginya lebih tinggi daripada tinggi Shabrin. Kulihat Shabrin berjinjit dengan tangan menggapai sekenanya susu yang diambilnya. Berusaha keras. Aku dan adikku bertatapan lalu tertawa kecil. Melihat Shabrin kesusahan segera ku gendong dia. Tangann

Shabrin #2

Tuntas sudah tugas pertamaku. Kali itu aku mendapat tugas lagi yaitu menjaga nyala api. Ibukku biasanya memakai kayu bakar untuk mematangkan ketupat. Karena empat jam lamanya, sehingga lebih hemat memakai kayu bakar. Begitulah. Aku sibuk memasukkan kayu bakar ke dalam keren. Menambah air ketika setengahnya menguap kemudian. Asap hasil pembakaran membuat perih mataku. Tak tanggung-tanggung mengalir agak deras seperti menangis. Di belakang rumah persis dapur sementara dibuat. Di tempat terbuka. Di tempat inilah karbon akan bebas beterbangan bersama udara. Walaupun dibelakang rumah, aku tetap leluasa mengamati tiap orang yang lewat di jalan seberang rumah. Lalu lalang orang tampak melewati jalan, dari arah utara ke selatan ataupun sebaliknya. Deru motor milik Pakdheku terdengar dari arah selatan. Lalu membelokkan ke kiri menuju halaman rumahku. Pakdheku tidak sendirian. Ada anak kecil berumur 2,5 tahun tampak takzim duduk di bagian ujung depan sedel motor. Rambutnya lurus sebahu. Mem

Shabrin #1

Aku ingat. Saat itu adalah penghujung Ramadhan tahun lalu. Untuk menyambut Hari Raya Idul Fitri, ibuku memasak makanan yang berbau santan dan ayam. Opor   misalnya. Juga tak lupa teman opor yang setia yaitu ketupat. Sebagai anak perempuan tertua tugasku kali ini lebih berat daripada adik perempuanku. Luri. Adikku hanya mengisi beras ke dalam janur   yang telah menjadi kelontong ketupat. Sementara itu aku mendapat jatah mengulek sambal yang satu cowek penuh itu. Yap, itu tugas terberatku. Memang alay kedengarannya, itulah pendapat kalian yang sering di dapur. Mengulek sambal. Kalian tahu kan? Aku paling anti dengan memasak. Apalagi berkutat di dunia masak memasak. Huft, enggak banget. Begitu fikirku. Aku tak dapat membayangkan betapa pegalnya tangan dan pundakku. Tapi, melihat ibukku memasak sendirian dengan menu sebanyak itu. Aku jadi tak tega. Perlahan bawang putih, bawang merah kuulek sampai lembut. Nah ini, aku paling tidak suka mengulek cabai. Susah lembutnya. Karena ke

Aku dan Catatan Harian

Mengingat dulunya aku adalah seorang anak yang introvert. Aku tak tahu dan tak mau tahu harus bercerita kepada siapa. Curhat dengan ibuku? Itu rasanya tak mungkin. Terbayang wajah beliau yang menunjukkan sisi kegembiraan plus sisi ‘aneh-aneh saja’ saat aku mulai cerita. Dan terbayang pula aku akan disindirnya, walau tak sebegitu sadis seperti sinetron-sinetron itu. Bercerita dengan ayahku? Ah, itu juga nggak mungkin. Masak mau mendengarkan cerita absurd yang hanya dialami oleh anak ababil sepertiku. Kalau bicara dengan kakak laki-lakiku itu juga tak mungkin. Ini terlalu privasi. Bisa di damprat habis-habisan aku. Atau gak disuruh belajar aja, atau enggak menyapu oh iya suruh masak. Dan parahnya itu semua khayalanku, ahaha. Karena jarang-jarang memegang panci. Apalagi menggoreng ikan lalu letupan minyak goreng mengenai wajahku. Bisa-bisa satu rumah heboh mendengarkan teriakan ku yang menggelegar plus cempreng itu. Yap, manusia di rumah yang belum ku sebut selain diriku adalah adikku.

Balita

“Yah pulsaku habis” Aku melengos kesal dengan mata menatap layar handphone. Aku kemudian berjalan keluar rumah. Beberapa menit kemudian aku sampai di depan rumah seseorang. Yap, tetanggaku namun agak jauh. Dari arah kejauhan, rumahnya ramai. Padahal hanya ada dua anak kecil. Satu bernama Nisa dan yang kedua anak kecil laki-laki yang tak kuketahui namanya. Baru pertama kali aku melihat anak kecil lak-laki tadi. Mereka bermain bersama di teras rumah. Bermain layaknya umur mereka. Menendang bola, melempar sesuatu atau yang lainnya. Mereka masih balita. Kalu boleh kutaksir, kira-kira berumur tiga tahun. Aku mulai berjalan mendekati mereka. Tidak lain tidak bukan karena niat pertamaku. Yaitu membeli pulsa. Srek srek srek bunyi gesekan antara tanah dan sandal yang kupakai. Kedua balita tadi melihatku berjalan mendekat. Nisa hanya melogo melihatku. Sementara itu, “Hua hua hua hua hua” Teriakan hsiteris balita laki-laki tadi mengagetkanku. Suasana riang kini berubah agak mencekam. Aku m

Selembar Uang dan Perut

Aku mulai gemar membaca buku sejak kelas tujuh. Yup, saat awal-awal masuk di bangku putih biru. Dari novel, non fiksi, cerita rakyat semua kulalap habis. Setiap hari, wajib satu buku yang habis kubaca. Dari yang tipis hingga yang tebal. Setebal kamus. Cukup memuaskan untuk melempari kepala orang yang benar-benar menyebalkan. Aku benar-benar haus aksara saat itu.             Ada pengalaman geli sekaligus kesal saat itu. Nah, aku dan teman sebangkuku yang juga teman SD ku, Ayuk meminjam buku perpustakaan. Tak tanggung-tanggung, kami meminjam dua buah buku. Urusan dibaca atau tidaknya itu nanti. Jelas, saat ini aku lupa judul buku yang aku pinjam. Saat ulangan akhir semester, perpustakaan terlalu sering tutup. Wajah kekecewaan tak pernah absen setelah menengok Perpustakaan. Padahal tenggang waktu peminjaman hampir habis. Hampir setiap hari, aku tak pernah absen untuk menengok perpustakaan. Memastikan pintunya terbuka saja. Waktu terus berjalan hingga tenggang waktu peminjaman habis. Ak

Gelap

Adzan Isya sudah terdengar sejak tujuh menit yang lalu. Anak-anak sekitar rumahku menghambur menuju mushola dengan gedebug kaki di selingi tawa renyah. Sementara itu, aku hanya memandangi tingkah mereka dari teras rumahku. Sebentar lagi, iqomah akan terdengar. Perlahan suara mereka hilang di telan heningnya malam. “Klapppp” Suara televisiku yang tadi menyala sekarang tanpa bunyi. Suasana malam yang diterangi gemerlapnya lampu kini gelap, gulita. “Yyyyyyaaaaaaaahhhhhh” Pasti itu suara mereka yang kecewa. Kecewa, malam ini tak ada penerangan apapun ketika sholat. Tak dapat lagi mengganggu teman sebelah yang sedang berusaha untuk khusuk. Tak ada lagi, wajah konyol yang menyeringai ketika takbiratul ihram baru saja dilaksanakan. Tak dapat melihat lagi tindakan konyol mereka. Beberapa menit kemudian. . . “Klaaappp” Tak sampai sepersekian detik lagi, terdengar iqomah yang bersahut-sahutan. 5 Ramadhan 1436 H/ 22 Juni 2015

Kembar???

Hari itu Hari Rabu. Seragam yang aku kenakan adalah identitas berwarna coklat keabu-abuan. Dipadukan dengan kerudung berwarna coklat kehijauan. Bel tanda pelajaran berakhir berbunyi. Suasana kelas semakin ramai. Bak pedagang dan pembeli yang tumpah ruah di pasar. Seusai berdoa, suasana kelas sepi. Tinggal satu dua orang yang mendiami, termasuk aku. Aku belum mau pulang pada jam ini, jam 16.00, entah mengapa. Kubuka buku laporanku. Laporan Mikrobiologi. Perlahan, penaku menari-nari diatas kertas bergaris. Suasana sepi dan AC yang menyala mendukungku untuk berkonsentrasi.           Tak sampai tiga puluh menit, judul, tujuan, dasar teori, alat & bahan, prosedur kerja, dan data pengamatan selesai kukerjakan. Kurang pembahasan praktikum saja. Aku berkemas-kemas, pembahasan kukerjakan di rumah saja. Lagian, ini mendekati pukul 17.00 sebentar lagi pintu belakang sekolah akan ditutup. Padahal parkir kendaraan berada dibelakang sekolah. Kalau pintu sudah ditutup, aku harus berjalan memut

Pulau Bali #2

Hari ini cuaca cerah. Tak ada mendung sama sekali. Hari ini masih hari pertama di Pulau Bali. Sejak berlabuh di Pelabuhan Gilimanuk, suasana Bali memang sudah teras. Banyak pura, sesajian, dan pantai yang indah. Banyak pula terlihat orang memakai udeng bagi laki-laki. Udeng merupakan simbol linggayoni. Lingga yang berarti laki-laki dan yoni yang berarti perempuan. Kalau perempuan banyak mengenakan pakaian nista. Nista merupakan pakaian adat Bali, bagi laki-laki tidak mengenakan sarung dan bagi perempuan mengenakan selendang. Perempuan di Pulau Bali banyak rambutnya yang dikepang ataupun dibiarkan terurai begitu saja. Masing-masing mempunyai makna tersendiri. Pagi itu bus melaju pelan. Arus lalu lintas pagi ini tak terlalu ramai karena tidak bersamaan dengan anak sekolah dan orang bekerja. Aku hanya terdiam. Kepalaku kusandarkan pada kursi didepanku. Semakin lama-semakin mengantuk. “Kenapa diem aja. Galau ya?” suara Bli mengagetkanku. “Hehe, enggak papa kok Bli” Jawabku singk

Senja

Kini matahari merangkak perlahan kembali ke peraduannya. Semburat warna orange se bentar lagi akan tiba. Pertanda malam akan datang. Siang akan tergantikan malam. Juga matahari akan tergantikan bulan dan bintang. Bersama tenggelamnya matahari aku ingin esok menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Aamiin.