Langsung ke konten utama

Shabrin #2

Tuntas sudah tugas pertamaku. Kali itu aku mendapat tugas lagi yaitu menjaga nyala api. Ibukku biasanya memakai kayu bakar untuk mematangkan ketupat. Karena empat jam lamanya, sehingga lebih hemat memakai kayu bakar. Begitulah.
Aku sibuk memasukkan kayu bakar ke dalam keren. Menambah air ketika setengahnya menguap kemudian. Asap hasil pembakaran membuat perih mataku. Tak tanggung-tanggung mengalir agak deras seperti menangis. Di belakang rumah persis dapur sementara dibuat. Di tempat terbuka. Di tempat inilah karbon akan bebas beterbangan bersama udara. Walaupun dibelakang rumah, aku tetap leluasa mengamati tiap orang yang lewat di jalan seberang rumah. Lalu lalang orang tampak melewati jalan, dari arah utara ke selatan ataupun sebaliknya.
Deru motor milik Pakdheku terdengar dari arah selatan. Lalu membelokkan ke kiri menuju halaman rumahku. Pakdheku tidak sendirian. Ada anak kecil berumur 2,5 tahun tampak takzim duduk di bagian ujung depan sedel motor. Rambutnya lurus sebahu. Memakai rok berwarna hijau muda selutut. Nampaknya, ia bosan dirumahnya. Ia bernama Shabrin (baca: Shobrin).
Shabrin ini adalah cucu dari (alm) Pakdheku yang pertama. Nah, pakdheku yang bersama Shobrin ini adalah Pakdheku yang keempat. Karena rumah Shabrin dan pakdheku yang keempat berdekatan, Shabrin selalu mengunjungi rumah Pakdheku.
Mesin motor di matikan ketika motor tepat lima meter di depanku. Kulihat wajah Shabrin. Shabrin tampak murung. Begitu kudekati ada raut wajah belum akrab denganku. Karena, jarang aku keluar rumah. Apalagi ke rumah Shabrin.
“Ya, Shabrin dijak tumbas ager-ager karo sutak” Kata Pakdheku dengan Bahasa Jawa. Ager-ager yang berarti agar-agar dan sutak adalah singkatan dari susu kotak. Yap, susu produksi pabrik yang dikemas wadah berbentuk kotak siap minum.
“Yuk Brin,” Aku mengulurkan kedua tanganku dengan tersenyum. Bermaksud menggendong Shabrin.
Pakdheku lalu memberiku uang selembar lima puluh ribu rupiah.
Engko Shabrin wes ngerti kok Ya, ager-ager karo sutake” Pakdheku ini memang tahu apa yang kubingungkan. Tanpa kutanyakan terlebih dahulu.
Kemudian aku menggendong Shabrin menuju minimarket dekat rumah. Selama di perjalanan Shabrin hanya diam. Dari arah belakang, aku disusul adikku. Belum jauh berjalan dari rumahku, Shabrin semakin lama semakin berat saja. Duh, tanganku pegal semua. Apalagi pundakku. Seketika itu aku teringat ibukku. Betapa sabar dan kuatnya beliau menggendongku selama bertahun-tahun. Lelah tak dirasa, pegal tak mengapa. Apalagi saat itu aku kelas tiga SD. Aku terserang gejala Demam Berdarah dan harus rawat inap di rumah sakit selama lima hari. Bisa dibayangkan berat tubuhku saat itu berkali lipat daripada berat tubuh Shabrin. Setelah dipasang infus di tangan kananku, pasien harus segera menuju kamar. Aku benar-benar takut memakai kursi roda. Aku menjerit ketakutan dengan suara tak karuan saat perawat mengangkat tubuhku untuk dinaikkan kursi roda. Akhirnya ibuku memilih menggendongku ke lantai atas. Aku tak membayangkan, pegalnya pundak ibukku saat itu. “Kasih Ibu kepada Beta tak terhingga sepanjang masa”. Memang benar adanya.

Akhirnya kami tiba minimarket yang berjarak 150 meter dari rumahku. Begitu sampai di depan minimarket, ku turunkan Shabrin dari gendonganku.

Yogyakarta,
10 Ramadhan 1436 H/ 27 Juni 2015


Komentar