Langsung ke konten utama

Setiap Kata Adalah Doa

 Awalnya aku tidak percaya dengan ungkapan sebagai berikut.

"Setiap perkataan adalah doa."

Sampai pada suatu saat, partnerku yaitu sesama asisten dosen praktikum Kimia dan Biokimia di laboratorium selalu melontarkan kata-kata yang kemudian jadi nyata. Tidak hanya sekali dua kali. Namun banyak kali kasus yang dia lontarkan menjadi kenyataan. Termasuk aku di dalamnya. Semenjak itu, aku tidak lagi meragukan sebuah kata.

Sebenarnya banyak hal yang menjadi nyata yang kualami sendiri. Seringnya, aku lebih banyak berbicara dalam hati. Banyak pula yang menjadi nyata. Kali ini aku mengingat kembali kejadian beberapa tahun lalu. Dimana aku mendapat undangan resepsi pernikahan dari teman. Karena suatu hal, aku tidak bisa hadir menghadiri acara tersebut.

Beberapa tahun kemudian entah bagaimana ceritanya, sang empunya acara bertemu dengan adekku. Sebuah kebetulan? Entahlah. Usai bertemu dengan adekku, ia melontarkan kata-kata yang menyakitiku karena aku tidak hadir dalam acaranya. Tidak hanya sekali saja. Namun konstan berkali-kali. Aku geram. Lalu aku berucap sambil marah mendengar cerita adekku.

"Lha kamu kapan cerainya?" Berkata sembarangan tanpa siapapun mendengarnya kecuali aku sendiri.

Kejadiannnn!

Tidak lama kemudian, aku mendengar kabar bahwa ia bercerai dengan menyandang predikat janda muda dengan dikaruniai anak satu. Aku tercengang. Aku sedikit menyesal. Namun nasi telah menjadi bubur. 

Tapi setelah dipikir dengan jernih, mungkin ucapanku bukan satu-satunya hal yang menyebabkan perceraian. Namun menjadi faktor pendukung perceraian juga. Wah gawat nih kalau omongan yang sembarangan menjadi kenyataan. Harus hati-hati dalam berkata.

Suatu kali, aku ingin sekali ampyang. Aku berkata dalam hati. Walaupun aku kurang suka dengan makanan manis, namun entah. Aku pengen sekali ampyang. Tidak beberapa lama kemudian saudara yang ada di Surakarta ke Bantul. Aku dibawakan ampyang yang rasanya manis dan ada rasa jahe dan ada taburan kacangnya. Wow sangat amazing. Langsung dikabulkan tanpa menunggu waktu yang lama. 



Beberapa hari ini banyak penjual durian dan rambutan di pinggir jalan karena memang baru musimnya. Dalam hari aku berbicara bahwa aku pengen juga makan durian. Tidak lama kemudian pakdhe menelfonku. Aku disuruh ke rumah pakdhe. Disana ada tiga buah durian. Satu untuk pakdhe, satu untuk aku, dan satu untuk Shabrin. Yeayyy. Durian ini dibawakan oleh seorang suplier dari Purworejo. Karena budhe nggak suka dengan durian, dulu aku dan pakdhe hanya makan durian berdua saja. Dua buah durian kita makan berdua. Gubrakkkk.

Kejadian yang berulang kali ini mengingatkanku bahwa aku harus berhati-hari dalam berbicara agar sesuatu yang kurang enak tidak menjadi nyata.


Bantul, 24 Januari 2023

13:43 WIB

Komentar