Langsung ke konten utama

Mantel Hujan


Sore kemarin, rintik hujan menghujani Yogyakarta dan sekitarnya. Langit mendungnya rata. Walaupun tidak terlalu deras cukup untuk terapi pijat tangan. Aku pulang dari tempat magang pukul setengah lima sore. Dengan kondisi yang seperti ini pasti aku tidak berani melajukan sepeda motorku kencang-kencang. Mataku yang minus dua agak kesusahan melihat kondisi depan motor. Helm yang aku pakai selalu aku tutup agar rintik hujan tidak kena kacamataku. Apabila kena kacamataku pasti pemandangan aku lebih blur lagi karena kacamataku bukan tipe yang waterproof. Pemandangan yang buram ditambah silaunya lampu-lampu kendaraan di depan semakin membuyarkan pemandangan mataku. Belum kalau ada uap air dari hasil sisa proses pernapasan. Semakin blur lagi. Oke, aku harus pelan-pelan dan sabar di jalanan.

Sumber: pinterest


Pukul 17.26 WIB aku baru sampai rumah dengan selamat. Alhamdulillah. Udah lolos berbagai ujian di jalanan. Mana kalau hujan kendaraan di jalan nampaknya lebih banyak volumenya daripada musim kemarau. Kondisi hujan membuat aspal jadi semakin licin saja. Sabar dan pelan-pelan di jalan adalah koentji. Sesampainya di kamar, aku mengeluarkan laptop dari tas. Menaruhnya di atas meja. Lalu mencharge hingga penuh. Kubuka segera hapeku. Empat pesan masuk dari adekku.

“Bulekkk. Mantel hujanku ilangggg. Ada yang ngambil. Nggak bilang-bilang. Padahal aku taruh di motor.”

Gubrakkkk.

Ini anak ada-ada saja kejadian randomnya. Dulu pulang sekolah nggak pakai helm gegara helmnya hilang di parkiran sekolah. Mana jarak rumah ke sekolah sekitaran delapan kilometer. Antara sedih dan ngakak guling-guling. Kok bisaaa?

Aku membalasnya kemudian.

“Pulangnya gimana? Aku baru pulang. Besok taruh di jok motor saja. Heh ituuu mantel hujanku yang ilangggg.”

Centang satu. Sudah kuduga ini anak pasti paket internetnya sudah habis. Suasana sore ini seperti udah malam saja karena langitnya yang mendung. Tidak lama kemudian suara motor terdengar. Aku hafal. Ini suara motor orang rumah. Adekku pulang. Ia memakai mantel hujan celana dan baju yang tidak senada. Atasnya warna dongker. Bawahnya warna hijau tosca. Aku ngakak. Sementara itu adekku cemberut.

Bapak dan Ibuk yang kebetulan ada di belakang juga heran. Hanya aku saja yang ngakak di atas penderitaan adekku. Sambil bersungut-sungut adekku bercerita.

“Mantel hujanku dipinjam anak mapala. Nggak dikembaliin ke motorku lagi. Awasss besok pokoknyaaaaa.” Katanya sambil bersungut-sungut kesal.

“Besok labrak.” Tangkasku sambil ketawa nggak habis-habis.


Komentar