Langsung ke konten utama

Saru

    Hari Jumat kemarin aku menengok keadaan di samping rumah yang sedang mengadakan hajatan. Aku berjalan keluar rumah lewat dapur. Lahan depan garasi motor rumah sudah disulap menjadi patehan. Sebelah timurnya, disulap lagi menjadi tempat cuci peralatan hajatan. Aku menyalami pemudi. Sambil melihat pemandangan sekitar, mataku menemukan salah satu spot. Seorang ibu-ibu muda dengan lipstik merah merona sedang menyuapi putranya yang berumur tiga tahun. Ternyata ibu-ibu muda itu teman sekolahku saat SD. Aku menghampirinya dan berbincang sedikit saja langsung pulang dan mandi. Usai Maghrib, aku bersiap untuk rewang alias membantu sang tuan rumah. Aku mengenakan batik coklat yang kugunakan dulu sekolah saat SMA. Namun bukan batik seragam. Batik bermotif bebas yang dipakai tiap hari Jumat. Ternyata masih muat.

“Mbak, kok semakin kurus aja?” Celetuk Nia.

“Hahaha. Ini masih sama kok berat badanku. Cuman biasanya pakai baju agak besar jadi kelihatannya badanku lebih besar dari aslinya.”

“Mbak, ini loh aku ikhlas ngasih dagingku ke kamu Mbak.” Usul Aisyah yang badannya semakin mengembang saja.

Aku cuman ketawa.

“Mbak, kalau gemuk itu rasanya berat loh. Kalau pas duduk, pahaku serasa mendesak satu sama lain.”

“Iya Mbak, rasanya berat ini badanku.” Tambah Nia.

Lalu kita tertawa bersama. Tawa kita selesai karena melihat rombongan orang datang untuk nyumbang.

Nia bersigap mengisi teh hangat manis ke dalam beberapa gelas. Kami berdiri menyambut tamu.

“Monggo nyerat rumiyin Bu.” Ucapku di depan tamu yang hadir sambil mengarahkan tanganku ke buku tamu.

Usai menulis buku tamu, para tamu mengambil snack secara mandiri dah teh hangat yang sudah disediakan. Mereka kemudian duduk lalu menikmati snack tersebut.

Ada mochi, roti bolu, tape ketan, emping goreng, lemper, dan jenang dodol. Makanan kesukaanku ada disana. Tape ketan dan emping adalah sebuah kombinasi perpaduan rasa yang sempurna. Rasa manis pada tape merupakan hasil fermentasi khamir Saccharomyces cerivisiae yang mengubah pati (amilum) menjadi gula sederhana (glukosa) yang rasanya jadi lebih manis. Bila fermentasi terus berlanjut, maka gula sederhana ini akan menjadi alkohol. Bila reaksi terus berlanjut maka berubah menjadi asam cuka yang berbau kecut itu. Ajaib bukan?

Usai menikmati snack dan makan, tamu berjalan keluar untuk pulang, aku memberikan telur yang sudah dibungkus kepada tamu yang akan pulang.

“Mbak, kalau ngasih telur jangan di dalam tarub. Di luar aja.” Ucap seorang ibu-ibu dengan suara keras.

Aku kaget.

“Lah kenapa Mbak emangnya kalau ngasih disini?” Tanyaku penuh selidik.

“Saru.” Jawabnya.

Saru? Bagian mana yang saru. Tanyaku pada diriku sendiri. Mukaku yang jutek dari setelan pabriknya semakin jutek saja. Aku cuma menatap balik ibu-ibu tersebut tanpa kata-kata. Ibu-ibu yang kutatap memperhatikanku lalu duduk tidak berdosa. Aku melengos begitu saja. 

Tak sengaja aku melihat ibu-ibu tadi berfoto selfie bersama ibu-ibu lainnya dengan centilnya di depan tarub tersebut diiringi dengan tawa kemayu bin kenes. Sesampainya di rumah pukul sembilan lebih, aku langsung bertanya sekaligus curhat sama bapak.

“Pak, emang kalau ngasih telur di dalam tarub itu saru?” Tanyaku penuh keingintahuan bak anak kecil yang selalu menanyakan sesuatu kepada bapak ibunya.

Bapak kemudian ketawa.

“Ya tidak saru. Sarunya dimana? Belum pernah Bapak mendengar istilah saru ngasih telur di dalam tarub.”

Masih dengan muka bersungut-sungut aku bilang sama bapak.

“Halah ibu-ibu cuman pengen tampil di depan kayak pemudi yang cantik-cantik.”

Tawa bapak meledak kemudian. Namun mukaku masih bersungut-sungut.

 

Bantul, 24 September 2022

09:53 WIB




Komentar