Langsung ke konten utama

Putih Abu-Abu #1


Katanya, masa putih abu-abu adalah masa yang paling indah. Menurutku, masa putih abu-abu adalah salah satu masa yang paling indah. Entah bagaimana ceritanya, tetiba saja aku rindu pada masa itu dan ingin menuliskannya disini.
Kelas X~
Sekolah kami memang agak beda dengan sekolah negeri yang lain. Asli bedanya. Saat kelas X ada pendidikan kedisiplinan. Nah, selama tiga hari dua malam kami menginap di salah satu Brimob di Yogyakarta. Seluruh siswa di kumpulkan di lapangan milik Brimob. Pak polisi meneliti satu per satu peserta. Bagi siswa yang peralatannya sudah lengkap di persiapkan masuk ke lokasi tempat tidur. Sepanjang mata memandang hanya ada tikar yang di gelar. Padahal, kalau di rumah aku bakal di marahi ketika tidur di lantai. Benar saja, kita hanya tidur di atas selembar tikar. Hiks.
Pak polisi nya berjumlah belasan orang yang akan mengawasi kegiatan kita. Ada yang wajahnya tampak galak, biasa saja, dan lucu. Pak polisi yang berwajah galak biasanya ditakuti teman-temanku.
“Eh ada Pak Polisi A, lebih baik kita lewat jalan lain daripada kita ketemu. Mlipir aja, mlipirr”
“Oke oke siap” Dengan wajah cemas.
Saat itu aku menenteng satu tas yang isinya selimut dan jaketku. Tasku desainnya bulat. Tas yang ku gendong udah overload makanya aku bawa satu tas lagi untuk menyelamatkan selimut dan jaketku.
“Heii bawa apa kamu?” Pak polisi menatap tajam mataku.
“Emmm, bawa selimut pak” Aku deg-deg an tidak karuan.
“Nggak usahlah bawa magic com segala. Apalagi itu…” Aku menoleh ke belakang.
“Bawa kulkas segala. Nggak usahlah repot-repot” Aku ngakak. Temenku bawa koper. Koper berbentuk kotak kan ya? Dikira bawa kulkas, haha. Lucu deh pak.
Setiap mau sholat, makan, atau apapun itu kita berbaris terlebih dahulu. Topi, adalah teman setia kemanapun agendanya saat outdoor.
“Siapa yang takut ketinggian?”
“Aku Pak” aku berkata dalam hati.
Nggak ada yang ngangkat jari. Jadi, semua temenku nggak takut ketinggian? Tapi, kalau di suruh naik model latihan yang tingginya belasan meter itu gimana? Aku nggak mau.
Aku memberanikan tunjuk tangan.
“Oh ” Pak Polisi menatap topi ku.
Setiap topi siswa memang ada namanya. Tertulis di atas semacam solasi lalu ditulis memakai spidol permanen.
“Silakan naik Mbak Tya”
Aku hanya bengong. Aku takut ketinggian dan disuruh naik ke model latihan pak Polisi untuk rapling. Mati aku.
“Ta…ta..tapi pak, saya takut ketinggian” Aku mendekat ke beliau
“Justru itu, biar nggak takut lagi”
Aku mendangakkan kepala. Itu tinggi bener, sumpah. Kemudian, telapak tangan dan telapak kakiku refleks berkeringat. Aku berjalan lesu menuju pak polisi yang satunya. Pak polisi tersebut membuat simpul menggunakan tali di badanku. Kakiku semakin gemetaran. Ya Allah, cobaan apa lagi ini.
Aku berjalan menaiki tangga memakai alat pelindung diri sarung tangan. Biar kulitku tidak lecet. Aku menengok ke bawah. Ini tinggi bener. Kakiku gemetaran lagi. Akhirnya, dengan segala kekuatan mengalahkan rasa takutku, aku sampai di pos satu.
Pak polisi mengaitkan tali nya dengan taliku.
“Pegang mbak” Pak polisi memberikan talinya kepadaku.
“Pak, saya takut ketinggian. Beneran Pak. Takut”
“Dicoba saja ya”
   Temen-temen di bawah sana kelihatan kecil sekali. Menambah deras keringat keluar dari telapak tangan dan telapak kaki. Coba ada cermin di sana. Pasti akan ku lihat wajah pias ketakutan bersama sang pucat menghias wajahku. Di bawah sana ada pak polisi yang siap siaga menarik ujung tali yang ada di atas sini. Kalau aku jatuh, di tariknya secepat kilat tali yang beliau pegang. Jadinya, aku nampak bergelantungan di bawah tali. Bukan jatuh brukk.
“Siappp Pak?” Pak polisi disampingku memberi aba-aba polisi yang ada di bawah. Bahwa, aku sudah siap meluncur ke bawah.
“Siappp”

Komentar