Aku berbincang-bincang
dengan Ninda, teman sekelasku untuk mengusir sepi. Malam semakin larut. Namun,
satu sangga pun belum sampai di pos tiga. Ninda dan Hafid memang sedang jaga
pos tiga. Pos tiga terletak di depan pintu masuk bumi perkemahan tepatnya di
makam. Ada tugas yang harus diselesaikan peserta di pos tiga. Membuat puisi di
tengah makam selama lima menit dan menebak kantong yang berisi bumbu dapur.
Hafid kemudian datang.
Jadilah kami bertiga di tempat duduk pintu masuk. Aku menengok jam. Pukul
22.30. Tak ada tanda-tanda kedatangan peserta. Hanya terdengar suara jangkrik.
Krik krik. Sementara itu, lampu makam dimatikan. Yang tersisa hanya beberapa
lilin yang menyala. Untuk menghemat energi, lilin di dalam makam dimatikan.
Benar-benar sunyi dan gelap.
Srek srek srek. Kami semua
terdiam mendengar suara gesekan sepatu. Suara tersebut semakin mendekat. Malam,
kini terasa panjang. Kami semakin terdiam. Tak ada lampu di luar kecuali tempat
kami duduk. Bayangan hitam semakin mendekat. Tampak wajah Rio yang bosan menunggu kedatangan peserta.
***
Aku kembali ke pos penutup.
Juga kembali menunggu peserta. Termangu sendirian. Berkali-kali penjaga bumi
perkemahan lewat di depanku. Tiap kali lewat, kenapa sendirian adalah
pertanyaannya. Pritttt. Itu pasti suara peluit yang Hafid tiup. Menandakan satu
peserta putra menyusuri makam. Mencari lilin yang menyala di tengah makam
sendirian. Lalu mengerjakan tugas selama lima menit. Pritttttt. Lima menit
telah berlalu. Satu peserta putra tadi keluar dari makam mengikuti tali. Kini
giliran temannya satu sangga satu persatu memasuki makam. Lalu berjalan
mengikuti tali tersebut.
Satu sangga pembuka menuju posku, pos penutup. Mereka
berjumlah delapan orang.
“Ini pos mbak?”
“Iya, pos penutup. Silahkan laporan dulu”
“Siap grak. Setengah lencang kanan grak. Tegak grak.
Hormat grak. Tegak grak.” Ketua sangga sedang mempersiapkan laporannya.
Kemudian,
“Lapor, kami dari Sangga Pelaksana kelas X telah selesai
menyelesaikan tugas.”
“Ya, laporan saya terima. Selamat datang, kalian telah
tiba di pos penutup.” Aku melihat wajah mereka senang setelah mendengar pos
penutup. Kemudian aku melanjutkan.
“Di pos penutup ini tak ada tugas. Kalian hanya akan
mengumpulkan tugas dari pos pertama hingga pos tiga di pos penutup ini. Mitela
juga akan dikumpulkan.”
“Silahkan kumpulkan tugasnya” Aku menerima beberapa
lembar kertas.
“Silahkan kumpulkan mitela ke dalam kantong plastik ini”
Lalu, aku menuliskan nama sangga, kode kapling, dan kelas pada potongan kertas
yang telah aku buat. Ku tali kantong plastik yang telah diisi mitela dan kertas
tadi.
“Setelah ini silahkan temui salah satu kakak Dewan
Ambalan di sekretariat untuk mengumpulkan kayu bakar. Pesan dari saya, tetap
jaga kesehatan dan langsung tidur. Paham??”
“Siap paham” Mereka serentak menjawab.
“Silahkan menuju tenda” Aku mengakhiri laporan.
Setelah sangga pertama berlalu kini, mereka disusul
temannya. Aku tidak sendiri lagi akhirnya. Udara memang semakin dingin.
Hembusannya membuatku ingin mengambil selimut. Apalagi kantuk menyerang perlahan.
Pada pos tiga ada peraturan
untuk peserta. Untuk sangga putra hanya boleh satu orang perwakilan sangga
untuk mengambil secarik kertas di tengah makam. Secarik kertas tersebut berisi
tugas dan diterangi sebuah lilin. Tugasnya yaitu membuat puisi dalam makam
selama lima menit. Tapi tenang saja. Ada dua orang Dewan Ambalan yang jaga
tersembunyi di tengah makam. Untuk sangga putri, dua orang perwakilan sangga
untuk memasuki makam. Tugasnya tetap sama. Sementara itu, teman yang tersisa di
luar makam akan memasuki makam menyusuri tali yang telah disediakan setelah
peluit kedua dibunyikan. Pertanda lima menit sudah berlalu dan perwakilan yang
mengerjakan tugas puisi telah keluar dari makam.
Komentar
Posting Komentar