Semilir
angin berkata. Kini, wajah lesu berbaur aura sendu tak lagi kau tampakkan. Selepas beranjak dari motor, kau selalu tak
absen dengan kata bercerita kepadaku. Kau bercerita segala hal yang ingin
dibagi denganku. Aku heran. Kau selalu mempunyai materi untuk dibagi denganku.
Dimulai dari bangun kesiangan, tak sengaja tertempel ulat bulu, dihadang
gerombolan anak kecil sampai kau teriak histeris tak karuan karena kecoa
melintas di hadapmu. Aku, tak pernah lupa ekspresimu waktu itu kawan.
Kau
selalu bersemangat tiap bercerita kepadaku. Apapun cerita itu. Air muka yang
kesal, bibir yang hampir menyentuh 10cm, wajah yang padam, kaki yang
terhentak, tangan yang mengepal
dalam-dalam lalu kau bebaskan ke udara. Semuanya ada, lengkap. Ada kalanya kau
terdiam. Tertunduk lesu. Menggigit-gigit bibir. Air mata yang mulai menggenang,
lalu kau menarik nafas dalam-dalam. Memeluk erat kedua kakimu lalu kau membisu.
Seketika meledak dengan tawa yang terkekeh-kekeh tanpa alasan. Aku heran seketika.
Ada
kalanya orang lain memasuki kehidupanmu. Siapapun itu. Mau beberapa detik,
menit, jam, hari, satu minggu, sebulan, setahun, aku tak tahu. Aku manusia, tak
bisa memastikan berapa lama seseorang memasuki hidupmu.
Kawan,
sebenarnya aku ingin mengatakan sesuatu. Ada hal yang ingin kusampaikan padamu.
Tapi, setiap kali aku hendak bercerita, kerongkonganku terasa sekali tercekat.
Rasa kelu mulai menghujamku perlahan. Kemudian aku membatalkan ceritaku. Entah
kenapa aku lebih memilih diam. Menganggap semuanya baik-baik saja. Iya,
baik-baik saja. Walaupun aku bercerita, kau akan menghajarku habis-habisan
tanpa rasa. Lalu aku berdiri mematung. Tak mengira kau melakukannya terhadapku.
Kau
berbeda kawan. Entah berbeda sejak kapan. Sebentar, aku akan mencoba mengingat.
Iya, aku ingat. Semenjak kau mempunyai kawan baru. Kau berjalan menghampirinya
dengan riang. Sementara itu, aku berada disisimu. Kau seolah-olah mengacuhkan
keberadaanku. Saat itu aku ingin sekali berteriak. “Aku ada di siniiii”. Suara
teriakan yang hanya terdengar oleh diriku sendiri. Begitulah, tertelan
keheningan.
Aku
melihat dengan jelas raut muka ceria yang belum pernah kau tampakkan selama ini.
Begitu bertemu dengannya, aku cukup mengamatimu dari kejauhan. Kau berlari
dengan wajah penuh harap. Cerita seharian ini, kemarin, lusa, masalah barumu
semuanya bersemayam di otakmu. Menunggu untuk kau ledakkan cerita bersama kawan
barumu. Aku hanya menggelengkan kepalaku.
Sore
itu kita berjanji akan menikmati senja bersama. Kita merencanakan itu sudah lama.
Mengimajinasikan tenggelamnya matahari bersamaan dengan jilatan terakhir es
krim favorit kita. Membayangkannya saja sudah mengasyikan.
Aku
dan kamu datang ke tempat favorit kita. Tak disengaja, kita tiba di waktu yang
sama. Lalu kita tertawa terbahak-bahak tanpa sebab. Memang, absurd sekali.
Langit semakin berjalannya waktu memerah lalu di sebelah timur masih biru.
Perpaduan warna yang indah. Itulah kenapa aku sangat senang menikmati waktu
senja. Sebentar lagi, es krim akan dibuka lalu kita akan menghitung angka saat
matahari tenggelam. Tiba-tiba, suara paraumu memecah suasana. Kau akan pergi
dengan kawan barumu. Aku hanya terdiam, lalu membuka perlahan es krim yang
sudah kubeli.
Sementara
itu, aku hanya menghirup aroma tubuhmu yang melintas dihadapku. Kau melintas
tanpa menoleh sekalipun dihadapku. Aku tak menyangka kau benar-benar pergi.
Tega meninggalkanku sendirian disini. Aku hanya duduk terdiam memegangi lutut.
Menikmati senja ditemani satu bungkus es krim. Aku tak apa. Iya, tak apa.
Komentar
Posting Komentar