Langsung ke konten utama

Senja, Bawa Ia Kembali #3



Semilir angin berkata. Kini, wajah lesu berbaur aura sendu tak lagi kau tampakkan.  Selepas beranjak dari motor, kau selalu tak absen dengan kata bercerita kepadaku. Kau bercerita segala hal yang ingin dibagi denganku. Aku heran. Kau selalu mempunyai materi untuk dibagi denganku. Dimulai dari bangun kesiangan, tak sengaja tertempel ulat bulu, dihadang gerombolan anak kecil sampai kau teriak histeris tak karuan karena kecoa melintas di hadapmu. Aku, tak pernah lupa ekspresimu waktu itu kawan.
Kau selalu bersemangat tiap bercerita kepadaku. Apapun cerita itu. Air muka yang kesal, bibir yang hampir menyentuh 10cm, wajah yang padam, kaki yang terhentak,  tangan yang mengepal dalam-dalam lalu kau bebaskan ke udara. Semuanya ada, lengkap. Ada kalanya kau terdiam. Tertunduk lesu. Menggigit-gigit bibir. Air mata yang mulai menggenang, lalu kau menarik nafas dalam-dalam. Memeluk erat kedua kakimu lalu kau membisu. Seketika meledak dengan tawa yang terkekeh-kekeh tanpa alasan. Aku heran seketika.
Ada kalanya orang lain memasuki kehidupanmu. Siapapun itu. Mau beberapa detik, menit, jam, hari, satu minggu, sebulan, setahun, aku tak tahu. Aku manusia, tak bisa memastikan berapa lama seseorang memasuki hidupmu.
Kawan, sebenarnya aku ingin mengatakan sesuatu. Ada hal yang ingin kusampaikan padamu. Tapi, setiap kali aku hendak bercerita, kerongkonganku terasa sekali tercekat. Rasa kelu mulai menghujamku perlahan. Kemudian aku membatalkan ceritaku. Entah kenapa aku lebih memilih diam. Menganggap semuanya baik-baik saja. Iya, baik-baik saja. Walaupun aku bercerita, kau akan menghajarku habis-habisan tanpa rasa. Lalu aku berdiri mematung. Tak mengira kau melakukannya terhadapku.
Kau berbeda kawan. Entah berbeda sejak kapan. Sebentar, aku akan mencoba mengingat. Iya, aku ingat. Semenjak kau mempunyai kawan baru. Kau berjalan menghampirinya dengan riang. Sementara itu, aku berada disisimu. Kau seolah-olah mengacuhkan keberadaanku. Saat itu aku ingin sekali berteriak. “Aku ada di siniiii”. Suara teriakan yang hanya terdengar oleh diriku sendiri. Begitulah, tertelan keheningan.
Aku melihat dengan jelas raut muka ceria yang belum pernah kau tampakkan selama ini. Begitu bertemu dengannya, aku cukup mengamatimu dari kejauhan. Kau berlari dengan wajah penuh harap. Cerita seharian ini, kemarin, lusa, masalah barumu semuanya bersemayam di otakmu. Menunggu untuk kau ledakkan cerita bersama kawan barumu. Aku hanya menggelengkan kepalaku.
Sore itu kita berjanji akan menikmati senja bersama. Kita merencanakan itu sudah lama. Mengimajinasikan tenggelamnya matahari bersamaan dengan jilatan terakhir es krim favorit kita. Membayangkannya saja sudah mengasyikan.
Aku dan kamu datang ke tempat favorit kita. Tak disengaja, kita tiba di waktu yang sama. Lalu kita tertawa terbahak-bahak tanpa sebab. Memang, absurd sekali. Langit semakin berjalannya waktu memerah lalu di sebelah timur masih biru. Perpaduan warna yang indah. Itulah kenapa aku sangat senang menikmati waktu senja. Sebentar lagi, es krim akan dibuka lalu kita akan menghitung angka saat matahari tenggelam. Tiba-tiba, suara paraumu memecah suasana. Kau akan pergi dengan kawan barumu. Aku hanya terdiam, lalu membuka perlahan es krim yang sudah kubeli.
Sementara itu, aku hanya menghirup aroma tubuhmu yang melintas dihadapku. Kau melintas tanpa menoleh sekalipun dihadapku. Aku tak menyangka kau benar-benar pergi. Tega meninggalkanku sendirian disini. Aku hanya duduk terdiam memegangi lutut. Menikmati senja ditemani satu bungkus es krim. Aku tak apa. Iya, tak apa.


Komentar