Langsung ke konten utama

Menjemput Sunrise #1

Aku terbangun dari tidur lelapku setelah suasana di dalam bus semakin ramai. Dengan mata setengah terbuka aku menengok keadaan sekitarku. Temanku yang ada di dalam bus kini hanya tinggal beberapa orang. Aku menengok keluar. Masjid. Iya, pagi buta ini bus kami berhenti di depan masjid di tepi jalan raya. Segera kuambil mukena dalam tasku lalu keluar dari bus. Brrrr, hawa dingin pagi ini semakin merasuk kulit lalu menembus tulangku. Membuatku semakin yakin tak akan lama berpisah dengan jaketku.
...
Setelah selesai menunaikan Shalat Shubuh, aku kembali dalam bus. Dengan gerakan secepat kilat selimut berwarna biru ini telah menutupi tubuhku, kecuali wajah. Mesin bus sejak beberapa menit yang lalu dinyalakan. Namun, pak sopir enggan menginjak tuas gas. Rupanya, pak sopir menunggu penumpangnya lengkap terlebih dahulu.
          “Good morning!!! Ya, kita telah sampai di Pulau Bali. Sudah shalat Shubuh semua kan?” Ketua biro perjalanan kami mulai menyambut ketika kami tiba di Pulau Bali. Tak ada jawaban sama sekali. Yakin, ini bus benar-benar sepi. Seperti tak ada penumpang sama sekali. Aku heran. Lalu, aku menengok kursi bagian belakang. Plakkk. Semua temanku sudah nyaman dengan posisi masing-masing. Mata terpejam mengenakan jaket dan berselimutkan selimut biru. Oh, pantes. Ini sambutan benar-benar garing. Lalu aku bersuara. “Krik krik krik”. Agar suasana lebih mendukung, hahaha.
          “Tujuan kita pagi ini adalah Tanah Lot” Beliau langsung menengok jam yang menempel pada tangan kirinya.
          “Ada yang sudah pernah ke Tanah Lot?” Suasana di dalam bus masih sama. Sepi. Tak ada jawaban sepatah kata pun dari kami.
          “Pastinya ada yang sudah pernah berkunjung. Sekarang masih 4 lebih tiga puluh menit. Rencana kami, kami akan membawa kalian ke Tanah Lot untuk melihat sunrise.”
Begitu mendengar kata sunrise, aku terbangun. Pemandangan yang indah langsung terbayang dalam otakku. Ah, ini pasti sunrise terindah yang aku lihat.
“Kita bisa mengejar sunrise kan pak sopir?” Tanya beliau. Sementara itu, kulihat pak sopir hanya mengangguk pelan.
“Kalian pasti masih capek kan setelah perjalanan seharian kemarin” Krik krik, tetap tak ada jawaban apapun dari kami.
“Ya, ibu maklum dengan badan kalian yang lelah. Sudah, ini saja pemberitahuan dari Ibu. Kalau ada pertanyaan silahkan tanyakan kepada Ibu” Krik krik, suasana bus masih sama, sepi.
Rasa ngantuk kini semakin hebat. Menjalar dari mata lalu ke tangan dan kaki. Sudah, aku tidak kuat lagi. Ku tengok samping kananku. Temanku sudah tertidur pulas. Yeay, sekarang aku akan menyusulmu kawan. Menyelami lautan mimpi-mimpiku. Lalu, aku tak ingat lagi. Segalanya gelap ketika kupejamkan mataku.
“Halooo...”
Sepatah kata itu benar-benar menyebalkan. Aku terbangun dari tidurku. Kurasakan badanku sakit semua. Aku seperti habis lari mengelilingi lapangan bola sepuluh kali setelah berbulan-bulan tidak olahraga lari. Sakit semua.
“Sepuluh menit lagi kita akan sampai di Tanah Lot”
Aku mulai membuka mataku sedikit demi sedikit. Nah, kalau ada penggaris aku akan mengukur lebar mataku yang terbuka. Yakin, hanya satu milimeter lebarnya. Hoammm, pagi ini masih gelap. Sinar matahari belum menembus bumi bagian Pulau Bali. Aku semakin yakin. Akan kulanjutkan tidurku. Harus harus.

“Jangan tidur terus dong. Sia-sia kami membawa ke Tanah Lot untuk melihat sunrise. Ayo, buka mata kalian. Lihat, sebelah timur. Ini benar-benar indah” Krik krik krik, suasana bus masih sepi.

Komentar