Langsung ke konten utama

Lampu Merah



Sore itu matahari terik. Angin bertiup lembut. Menyampaikan rindu yang tak tersampaikan. Jalan di ibu kota tempat tinggalku masih sama, ramai. Apalagi sore ini mendekati pukul 4. Pelajar, mahasiswa, dan pekerja memenuhi jalan ibu kota. Inilah saat karbon monoksida menghambur di jalanan lalu memenuhi atmosfer bumi. Semakin meluas hingga kondisi udara jauh dari kata “sehat”.
Aku mendengus kesal. Antrian kendaraan seperti motor, becak, sepeda, pick up, truk mengular tak beraturan. Aku kesal karena aku juga bagian dari antrian tersebut. Suara deru mesin dan klakson menambah suasana menjadi semakin panas.
Aku menyipitkan mataku. Lampu hijau menyala. Semakin menjadi-jadi pula suara mesin dan klakson. Tampaknya, banyak orang yang ingin cepat sampai ke rumah. Bertemu dengan orang yang disayangnya. Hingga macet menjadi sebuah penghalang keinginan mereka. Rasa tak sabar kian menjadi-jadi ketika lampu merah kembali menyala.
Aku berhenti tepat ditengah-tengah kendaraan lainnya.  Tak ada yang aneh sama sekali. Jalanan masih sama. Dipenuhi kendaraan yang menanti lampu hijau. Namun, lampu tersebutlah yang membuat mereka meninggalkannya.
Hingga aku melihat seorang ibu yang mengalihkan pandanganku juga fokusku. Tak kutangkap kata spesial ketika melihatnya berjalan melewati zebra cross. Penampilan nya sederhana saja bahkan boleh dibilang sangat sederhana. Mengenakan celana yang menutup ¾ bagian kakinya saja. Kaos sederhana berwarna abu-abu yang lengannya hanya menutup sampai sikunya saja. Tak lupa topi yang memuat seluruh rambutnya yang juga berwarna abu-abu pula. Mataku terus mengikuti kemana perginya seorang ibu tadi. Ibu itu lantas berhenti, meski zebra cross belum sempurna dilewatinya. Aku terus bertanya-tanya pada diriku sendiri. Apa yang akan dilakukannya? Sementara teriknya matahari membakar kulit dan debu yang menyapu wajah tiap pengendara.
Ibu itu berhenti di tengah zebra cross. Tangannya mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah sampur, lalu di selempangkan di pinggangnya. Aku semakin tak paham dengan fikiranku sendiri. Kedua telapak tangannya disatukan. Perlahan-lahan diangkat hingga di bawah hidung. Dengan kedua ibu jari tegak lurus dengan posisi tepat di bawah hidung. Lantas, kepalanya menunduk. Memberi tanda penghormatan bagi orang di depannya.
Tangannya mulai menjuntai perlahan. Digerakkannya dengan selembut mungkin tangannya. Bak diiringi musik yang mengalun, kepalanya ikut menari perlahan. Aku menengok ke kiri dan kanan. Kebanyakan pasang mata tidak memperhatikan sosok ibu itu. Pengendara lebih banyak memperhatikan jam tangannya dan lampu merah. Tak lama kemudian, kembali lagi kedua telapak tangan disatukannya. Kembali ke posisi di bawah hidung. Sekejap, lalu selesai untuk memberi penghormatan kepada orang di depannya. Tangan yang tertempeli banyak debu kembali mencari sesuatu di balik sampurnya. Sebuah botol yang dibagi menjadi dua. Hah botol? Dilangkahkan kedua kakinya mendekati pengendara sore itu di perempatan tengah kota. Disodorkannya perlahan botol tersebut. Senyum tak lupa di tampakkannya. Panas matahari membuat pipi nya basah akan keringat.
Dengan mata tak berkedip aku membeku. Oksigen terasa habis, lalu menghampakan kerongkonganku. Tercekat. Aku tak mampu berkata-kata lagi. Lalu, lampu hijau kembali menyala. Menengok kembali bayangan ibu tersebut di sela-sela kendaraan bermotor. Aku terdiam, batinku tertikam.

Komentar