Langsung ke konten utama

Gagal : )



 “Ayo keluar semuanya dari tenda. Semuanya tanpa kecuali”
Tak selang satu detik, tenda kami digoyang-goyangkan. Shita cepat-cepat membuka restleting tenda yang tak lain adalah pintu tenda.
“Kenapa Fiq” Shita melongok keluar.
“Ya pokoknya semua harus keluar dari tenda. Hujan semakin deras. Secepatt mungkin keluar dari tenda”
Nada bicaranya yang tergesa-gesa serta wajah panik yang tak bisa disembunyikan bak magnet bagiku. Ditambah suaranya yang meninggi. Aku panik.
“Tahu sepatuku enggak? Sepatuku kok gak ada ya?”
Devi disibukkan dengan sepatunya yang menghilang. Ia membongkar semua isi tasnya. Sementara itu, Akma mencari jas hujannya. Suasana tenda makin parah ketika tujuh penghuninya disibukkan mencari benda masing-masing.
“Ya, gimana ini? Kita keluar dari tenda sekarang?” Anisa bertanya padaku.
Suasana yang riuh serta derasnya hujan membuatku berbicara lebih keras dari biasanya.
“Sangga perintis satu tolong minta perhatiannya” Aku berbicara menahan kepanikanku sendiri. Hanya terdengar nyaringnya derasnya hujan. Suasana dalam tenda hening.
“Tolong, sekarang semuanya wajib pakai jaket. Bawa benda yang diperlukan saja. Iya hape wajib dibawa”
Aku yang ditunjuk sebagai ketua sangga malah kebingungan sendiri. Kepanikan lebih mendominasi daripada kejernihan tindakan.
Fiqy sedari tadi diluar tenda. Menunggu tenda kami benar-benar kosong penghuni. Air hujan terus membasahi mukanya. Kulihat air terus menetes melalui dagunya. Ia berulang kali menyapukan tangan di mukanya. Bajunya kian basah. Terlebih lagi dia anak pondok. Belum sempat mengganti sarungnya dengan celana panjang. Berantakan bukan main isi tenda kami. Sepatu, tas, baju, dan bahan makanan bersatu padu. Terselimuti terpal berwarna oranye milik saudaraku.
“Ibuk Ibuk Ibuk, aku pengen pulang. Aku gak mau disini. Aku pengen pulang. Disini aku mau mati, huhuhu. Berapa sih suhunya, aaaa aku tetap pengen pulang”
Tutu yang sedari tadi meringkuk bersikeras untuk pulang ke rumahnya. Ia terus berganti-ganti posisi tidurnya. Tentu saja aku yang disampingnya merasa kurang nyaman. Sedari tadi, ia memang hobi berbicara sendiri, sejak seluruh anggota sangga putri dievakuasi.
“Aaaa Tu mbok jangan gitu. Nanti kalau kejadian gimana?”
Hawa semakin dingin ketika Hana menggubris perkataan Tutu. Tidur meski mata belum benar-benar terpejam. Berada diantara mereka membuat aku sedikit tenang. Aku memang tak sendiri melawan bekunya malam ini.
“Aku juga kedinginan tu. Selimutku ketinggalan di tenda”
Aku berbicara dengan bibir gemeretak. Tentu saja jaket yang kupakai tak mampu menghangatkan seluruh tubuhku.
Hujan benar-benar semakin deras sehabis Isya tadi. Membuat suhu di daerah lembah menurun drastis. Namun, aku bersyukur. Hujan yang mengguyur kali ini menjadi salah satu penyebab tak adanya kegiatan Jerit Malam. Alhamdulillah J Padahal, rencananya setiap sangga harus memasuki sebuah area pemakaman pada malam hari untuk mencari jejak. Namun, membeku di ruang evakuasi yang terbuka setimpal dengan ketakutan saat memasuki makam.

31 Juli 2014

Komentar