Langsung ke konten utama

Lebih Jauh Tentang Mataram Islam


Apa yang terlintas di pikiran dengan kata Mataram Islam? Yap, benar sekali. Salah satu hal yang terlintas adalah sejarah.
Komunitas Malam Museum mengangkat tema sejarah lewat kegiatannya yakni Jelajah Peradaban Mataram Islam. Lewat slogannya “Menyemai Kearifan Lewat Tinggalan Sejarah” mampu menyedot banyak peminat sejarah di kalangan mahasiswa maupun umum.
Perjalanan hari kedua yang diselenggarakan pada tanggal 15 Oktober 2017 menginjakkan di tiga titik lokasi sejarah. Kartasura, Keraton Surakarta, dan Pura Mangkunegaran yang semuanya berada di wilayah Surakarta dan Sukoharjo.
Kerajaan Mataram Islam didirikan pada tahun 1578 oleh Panembahan Senopati. Panembahan Senopati memerintah pada tahun 1578-1601 atau sekitar 23 tahun. Danang Sutawijaya atau Panembahan Senopati bergelar Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khlaifatullah Tanah Jawa. Juga memiliki nama lain yakni Sunan Seda Jenar dan Mas Ngabehi Loring Pasar.
Panembahan Senopati wafat pada tahun 1601. Kekuasaan Mataram Islam di pegang oleh Mas Jolang yang bergelar Prabu Hanyokrowati. Kepemimpinannya tidak berlangsung lama karena wafat saat berburu di hutan Krapyak.
Raja Mataram yang memerintah jika di urutkan sebagai berikut :
1. Panembahan Senopati (1587-1601)
2. Prabu Hanyokrowati (1601-1613)
3. Sultan Agung Hanyokrokusumo (1593-1645)
4. Sunan Amangkurat I (1646-1677)
5. Sunan Amangkurat II (Sunan Kartasura I, 1677-1703)
6. Sunan Amangkurat III (Sunan Kartasura II, 1703-1705)
7. Sunan Pakubuwono I (Sunan Kartasura III, 1704-1719)
8. Prabu Amangkurat IV
9. Kanjeng Pangeran Arya Mangkunegara (Mangkunegara I, 1757-1795)
10. Sunan Pakubuwono II (Sunan Surakarta  I, 1726-1742 )
11. Sultan Hamengkubuwono I (Sultan Yogyakarta I, 1717-1792)

Kerajaan memang tidak bisa dipisahkan dari keraton. Pada awalnya, lokasi keraton terletak di Banguntapan kemudian berpindah ke Kotagede. Keraton adalah bangunan fisik yang tidak hanya berkedudukan sebagai pusat pemerintahan dan kebudayaan, tetapi juga pusat magis kerajaan. Semakin ramainya Kotagede, Sultan Agung membangun keraton baru di daerah Kerta pada tahun 1618. Namun, pusat kota masih berada di Kotagede walaupun keraton sudah di pindahkan ke Kerta.
Pada masa pemerintahan Amangkurat I, keraton di pindahkan dari Kerta ke Pleret pada tahun 1647. Namun, Keraton Pleret hancur akibat Perang Trunajaya dan jatuh ke tangan pemberontak. Amangkurat I melarikan diri kemudian meninggal di Tegalwangi.
Keraton Pleret di rebut kembali oleh Amangkurat II dengan bantuan VOC lalu di pindahkan Kartasura. Dalam kepercayaan Jawa, keraton yang telah di duduki musuh tidak baik lagi untuk ditinggali. Hingga saat ini, benteng Keraton Kartasura adalah bangunan yang tersisa dan dapat dinikmati. Amangkurat II merupakan raja Jawa pertama yang menggunakan pakaian dinas ala Eropa. Dalam kurun waktu tujuh tahun, Kartasura mengalami beberapa kali perang memperebutkan mahkota. Raja terakhir Keraton Kartasura adalah Pakubuwono II. Keraton Surakarta runtuh akibat dari pemberontakan Cina atau yang disebut dengan peristiwa Geger Pacina.
Desa Sala dipilih sebagai lokasi keraton baru. Ada beberapa alasan mengapa desa Sala dipilih sebagai lokasi keraton baru.
Pertama, menurut ahli nujum Raden Tumenggung Hanggawangsa, kerajaan itu menjadi baik, ramai, dan makmur. Walaupun kekuasaan raja tidak seberapa luas (saegaring payung), kekuasaan itu dapat berlangsung lama.
Kedua, desa Sala terletak di dekat tempuran, artinya tempat bertemunya dua sungai, yaitu Sungai Pepe dan Sungai Bengawan Solo. Menurut mistik Jawa, tempuran mempunyai arti magis dan tempat-tempat di dekatnya di anggap keramat.
Ketiga, letak desa Sala dekat dengan Bengawan, sebuah sungai terbesar di Jawa yang sejak zaman dahulu mempunyai arti penting sebagai penghubung antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Fungsi sebagai penghubung ini dimanfaatkan ntuk berbagai kepentingan antara lain ; ekonomi, sosial, politik, dan militer. Sampai abad ke-19, berpergian lewat sungai ternyata lebih aman daripada lewat daratan.
Keempat, karena Sala telah menjadi desa sehingga untuk mendirikan keraton tidak diperlukan tenaga untuk membabat hutan yang di datangkan dari tempat lain. Selain Semanggi, di dekat Sala juga terdapat desa penting yang telah ada sejak zaman Kartasura, yaitu Baturana dan Gabudan. Keduanya ditempati oleh abdi dalem pembuat babud atau permadani.
Kelima, agar kebijaksanaan Batavia yang telah ditetapkan pada 1705 dapat dilaksanakan dengan mudah.
Keenam, menggunakan petangan sesuai dengan adat yang berlaku. Menurut kepercayaan orang Jawa, keadaan tanah akan berpengaruh pada penghuni rumah kediaman yang didirikan di atas tanah itu. Berhubung Kadipala dan Sana Sewu, yang semula di calonkan sebagai tempat kedudukan keraton baru tidak memenuhi persyaratan petangan menyebabkan tempat itu tidak dipilih.
Surakarta adalah kebalikan dari Kartasura. Karta berarti tertata, makmur, aman, damai, dan seterusnya. Sura berarti heroik.
Campur tangan dari pihak VOC menyebabkan Mataram terjadi perpecahan internal. Kekacauan politik baru dapat di selesaikan pada masa Pakubuwono III setelah Perjanjian Giyanti yang berisi pembagian wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta pada tanggal 13 Februari 1755. Dengan begitu, berakhirlah era Mataram sebagai kesatuan wilayah.

Komentar