Langsung ke konten utama

Dibalik Lokasi Pariwisata

“Satu porsi harganya berapa Buk?”
“Sepuluh ribu”
“Oh ya, kalau begitu saya pesan satu porsi saja”
Ibu itu bingung menatapku. Aku membawa adikku. Kenapa hanya pesan satu porsi saja. Jawabannya karena aku sejujurnya kurang suka dengan sate.
“Mau yang sapi atau ayam”
“Emm, ayam saja”
Aku berjalan ke samping penjual sate. Melihat-lihat pemandangan sekitar.
“Sini Nduk, duduk sini”
Penjual sate mempersilahkanku duduk di alas yang dibawanya. Alas itu terbuat dari daun kering di anyam sedemikian rupa. Aku tidak tahu itu daun jenis apa. Yang aku tau itu bukan daun kelapa kering.
Saat penjual sate itu mengipasi sate nya, aku menjulurkan tanganku. Memperkenalkan namaku. Aku berharap beliau juga memperkenalkan namanya. Nama beliau sangat penting untuk data wawancaraku.
“Tya, buk”
“Poni.. ” aku tidak mendengarnya.
Aku mengangkat alisku.
“Ponisih” Ibu itu mengeraskan suaranya.
“Ibu sudah berapa lama jualan disini?”
“Empat tahun”
“Oooo, ibu aslinya dari daerah sini juga?”
“Enggak, saya dari Madura. Ngikut suami ke sini”
“Kenapa ibu nggak jualan di Madura bu kalau boleh tahu?”
“Saya hanya ngikut suami saja”
Aku tidak fokus mode on. Kenapa juga nanya pertanyaan yang udah ada jawabannya.
Tiba-tiba ibu itu mengeluarkan plastik yang berisi kertas. Diberikan kertas itu kepadaku. Aku membukanya.
Kertas hvs yang dilipat di dalam plastic adalah surat keputusan dari sebuah Paguyuban Pelaku Pariwisata di daerah tersebut. Isinya adalah kewajiban membayar iuran harian. Senin sampai Sabtu sebesar 3000 rupiah. Ahad sebesar 5000 rupiah. Tapi, realitasnya hari Sabtu sore tarifnya adalah 5000 rupiah. Jika di kalkulasikan
Senin-Jumat = Rp. 3000 x 5 = Rp. 15.000
Sabtu-Ahad = Rp. 5000x 2 = Rp. 10.000
Satu minggu sebesar Rp. 25.000. Kalau sebulan sebesar Rp. 100.000. Setahun? Rp. 1.200.000. Fantastis.
“Ibu sebenernya keberatan enggak dengan tarif yang ditetapkan?”
“Berat, iya berat banget”
Aku tertegun. Apalagi saat ku tanya hasil penjualannya yang kadang tidak laku. Lontong yang ku makan sepertinya terhenti di kerongkongan. Sesak.

Komentar