Langsung ke konten utama

Aku dan Gempa 2006 Bantul

Hai teman-teman semua. Minggu ini ODOP memberikan tantangan kepada membernya. Nah, tulisan ini kupersembahkan untuk tugas tersebut :D Oke, langsung saja. Namaku Tya, ada juga yang memanggilku dengan sebutan Set, karena nama depanku adalah Setya.
Aku anak nomor kedua dari tiga bersaudara. Yang anak tengah mana suaranya??? Aku punya seorang kakak laki-laki dan seorang adik perempuan. Nah, aku dan adikku ini sering dipanggil Upin Ipin. Kenapa? Katanya sih, wajah kami mirip. Jujur, kami berdua nggak terima haha.
Oke, sebut saja aku dan adikku dengan sebutan Upin Ipin. Aku Upinnya dan adikku si Ipin. Walaupun kami selisih tiga tahun, tinggi kita hampir sama. Jiahhh, kali ini aku yang sangat enggak terima, secara aku kakaknya :D
Aku berasal dari Bantul. Salah satu kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta tercinta. Walaupun dari Bantul, akses dari kampungku menuju kota tidaklah lama karena wilayah kecamatan yang aku tempati berbatasan langsung dengan Kota Yogyakarta. Teman-teman ODOP tau Kraton Yogyakarta, Malioboro, Taman Pintar? Nah, untuk sampai ke lokasi tersebut hanya 15 menit dari kampungku. Nah, yang lagi hitz adalah wisata Hutan Pinus, Mangunan, dan wilayah sekitar Imogiri. Ada yang mau kesana teman-teman ODOP? Barangkali aku bisa jadi guide nya wkwk.
Bicara soal Bantul, tentu tidak lepas dari bencana gempa bumi 2006.  Bencana yang  terkenang oleh masyarakat Bantul. Waktu itu tanggal 27 Mei 2006. Kira-kira pukul enam kurang lima menit gempa melanda wilayah Bantul selama 57 detik berkekuatan 5,9 SR. Pagi itu, kata Ayahku, anjing samping rumah tak henti-hentinga menggonggong sejak pukul lima pagi. Entah mendapat firasat apa, Ayahku membuka semua pintu rumah lebar-lebar.
 Tanah bergoyang kencang, tanda gempa bumi terjadi. Ayah kembali masuk ke rumah. Tergopoh-gopoh menuju kamarku. Aku yang baru membuka mata kaget. Langit-langit rumah seakan bergelombang dan ranjang bergoyang seperti ayunan. Aku keluar kamar berlari terseok-seok di awasi oleh ayahku.
Ipin yang masih pulas tertidur digendong oleh ibukku. Ipin diangkat bersama dengan selimut yang membungkus tubuhnya. Sampai di luar rumah, aku gemetar. Tetangga sekitarpun semua keluar dari rumahnya. Pemandangan genteng jatuh dan tembok retak menghiasi pagi itu.
Suasana berubah mencekam setelah adanya gempa itu. Saat itu aku berusia delapan tahun, belum tahu lebih jauh tentang efek pasca gempa. Sekolah meliburkan siswanya sekian minggu. Kemudian aku dan Ipin bersepeda ke rumah pakdhe. Sesampainya di rumah pakdhe, terdengar suara teriakan orang.
“Tsunami, tsunami, tsunami”
“Airnya sudah sampai Kasongan”
“Hah Kasongan? Sedekat itu?”
Aku dan Ipin menghambur pulang ke rumah. Ayah, Ibukku benar-benar panik saat itu. Ayah memanasi motor dan ibuku langsung menyambar seluruh uangnya. Kami mengungsi ke daerah yang lebih tinggi.
Ternyata, begitu sampai di jalan raya. Motor-motor berjalan tidak terkendali. Orang dari selatan ke utara. Orang dari utara ke selatan. Orang dari timur ke barat. Orang dari barat ke timur. Alhasil, jalanan semrawut. Untung ada pak polisi yang mengatur lalu lintas saat itu.
“Pak polisinya nggak ikut ngungsi? Berarti, nanti tenggelam” pikirku saat itu.
Begitu sampai tujuan, badanku gemetar lebih kencang lagi. Melihat kondisi rumah yang kotor karena pecahan dinding, gelas pecah karena jatuh, orang-orang panik terlihat sepanjang jalan, dan kabarnya tsunami sebentar lagi melanda wilayah kami.
Antara sedih dan enggak tahu apa yang harus dilakukan oleh anak kecil sepertiku. Hari itu listrik mati dan tidak ada jaringan. Satu-satunya alat komunikasi saat itu adalah Handy Talky (HT) . Seorang warga yang satu kampung denganku ternyata membawa handy talky. Lewat sebuah alat tersebut terdengar kabar bahwa Bantul baik-baik saja. Air pantai selatan tidak terjadi apa-apa. Setelah mendengar kabar tersebut, kami pulang. Namun perasaan was-was masih tetap bersemayam. Ketika sampai rumah, Ibukku langsung membuat sarapan. Begitu kami sarapan, gempa susulan menggoyang wilayah kami lagi. Aku langsung berlari keluar rumah. Deg-degan kembali menyelimuti diri. Entah, berapa kali gempa susulan terjadi hingga mayoritas warga tidak berani tidur di dalam rumah. Warga membuat semacam tenda di luar rumah. Begitu juga dengan keluargaku. Kami juga tidak berani tidur di dalam rumah. Berbekal terpal jadilah tenda sederhana yang dihuni oleh tiga kepala keluarga. Yang tidur di dalam tenda hanya perempuan dan anak kecil. Laki-laki dewasa tidur di kursi panjang di bawah seng atau bangunan tidak permanen.
Malam itu, pertama kali menghuni tenda, hujan deras menyelimuti Bantul dan sekitarnya. Halilintar menyambar-nyambar dan angin bertiup kencang. Listrik pun mati. Beredar kabar juga banyak meninggalnya tetangga yang migrasi dari kampung kami ke daerah yang terkena paling parah efek gempa. Dunia seolah begitu senyap, dingin, dan mencekam.
Gempa 2006 dan isu tsunami ternyata dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab untuk mengambil barang-barang berharga saat kampung mulai sepi ditinggal mengungsi. Peristiwa itu adalah pengalaman paling berkesan bagi orang Bantul terutama Aku sendiri. Ketika gempa terjadi lagi karena siklusnya, memori tentang 2006 seakan terputar sendiri di dalam otak.

Dalam tema “Tentang Aku dan Pengalaman yang Paling Berkesan di Hidupku
Bantul, 27 September 2017

17:24

Komentar

Posting Komentar