Langsung ke konten utama

Senewen


Hari Sabtu kemarin tepatnya tanggal 18 Februari 2016. Aku merasa nggak nyambung, nggak fokuslah, dan nggak konsentrasi. Pagi itu aku disuruh ayahku beli bakso sejumlah tiga porsi. Kali ini konsentrasiku belum terganggu. Aku pulang membawa bakso sejumlah tiga porsi yang diinginkan ayahku.
“Dek, kalau mau nggoreng cumi-cumi itu pakai tepung terigu, tepung bumbu instan, atau tepung beras?” Kakakku memecah konsentrasiku dengan handphoneku.
Aku berfikir sejenak. Apa ya emmm. Kalau pakai tepung terigu pastinya jadi kayak gorengan yang dijual di pinggir jalan. Kalau tepung beras,, emm bisa juga. Atau malah bisa jadi rempeyek? Haaa. Tepung bumbu instan juga bisa nih. Jadi yang mana ni yang paling tepat?
“Yaudahlah, tanya ibu saja” celetuk kakakku.
“Wokay”
Akhirnya, diantara tiga tepung itu, tepung bumbu instan lah yang terpilih. Aku langsung menyambar rok dan kerudung. Menggenjot pedal sepeda perlahan hingga sampailah di minimarket terdekat.
Sesampainya di rak tepung dan kawan-kawannya aku ngetem. Mbak pramuniaganya sedang merapikan stok tepung yang amburadul itu. Dari kejauhan sudah terlihat sasaranku dengan bayangan sedikit blur karena aku tak memakai kacamata andalanku. Aku main ambil aja. Berjalan sebentar ke arah rak mie instan. Comot satu pcs mie instan rasa ayam bawang.
Mataku berbinar. Ya ampuunnn ada boks eskrim di sudut ruangan. Buka kaca lalu hap ambil satu bungkus es krim rasa melon. Langsung saja ke kasir, bayar, lalu pulang.
Sampai rumah langsung saja tanpa ba bi bu menghabiskan eskrim yang ku beli tadi.
“Dek ini Cuma bumbu instan doang. Bukan tepung bumbu”
Kusambar bungkus yang kukira tepung bumbu itu.
“Hahahahaha” Aku menertawai kelakuanku sendiri.
“Dek mie nya mana?”
“Tuh di kantong kresek warna putih, di atas meja makan”
“Loh kok mie instan. Kan tadi mie ayam requestnya”
“Lah” Aku bingung sendiri.
“Tak kira kan tadi aku ke minimarket pastinya pesan mie instan”
“Nggak denger tadi ya?”
“Enggak. Huhuhu yaudah tak balik lagi beli mie ayam sama tepung bumbu” Aku mengampiri kerudung yang digantung.
“Udah nggak usah” Terlihat raut kecewa kakakku.
Ya ampunnnn. Disuruh beli tepung bumbu aku belinya bumbu instan. Disuruh beli mie ayam aku belinya mie instan. Huhuhuhu aku kenapa? Ada yang bisa jelaskan kondisiku sekarang? Benar-benar kali ini aku se senewen begini.
Jam lima sore waktunya ngegas motor njemput adikku. Dalam perjalanan pulang aku mampir ke toko alat tulis.
“Sudah mbak ini aja” kataku.
“Delapan ribu seratus mbak”
Aku masih aja asyik melihat alat tulis di etalase. Beberapa saat kemudian,
“Berapa mbak totalnya?” tanyaku
Terlihat adikku menepuk jidatnya sambil bilang parah-parah. Aku Cuma ngebatin, nih anak kenapa?
“Delapan ribu seratus mbak”
Aku mengeluarkan selembar uang sepulu ribuan. Mbak pramuniaga memberikan kembalian. Aku dan adikku berbalik ke arah motor.
“Loh mbak, tadi pramuniaganya udah bilang totalnya delapan ribu seratus. Kenapa tanya lagi? Lama lagi jedanya, sesudah mbak tadi ngomong totalnya. Ckck” celetuk adikku.
“Apa iya?” tanyaku.
“Ho.oh mbak”
Adikku kembali menepuk jidatnya sambil bilang parah-parah diikuti gelengan kepalanya.
“Apa iya??” tanyaku pada diriku sendiri.


Yogyakarta, 19 Februari 2017
18:32 WIB




Komentar