Aku terburu-buru mengambil sebuah benda di
rak minimarket. Tergesa-gesa membaca nama produk makanan. Alisku sedikit
terangkat. Aku mengambil lalu tersenyum. Nata de Coco.
***
“Eb sana cuci gelas ukur, yang ukuran satu
liter sama 100 mililiter ya” Aku bak raja yang seenaknya saja memerintah.
“Loh mbak, kan udah bersih” Syuaib
mengangkat gelas ukur lalu mengamati perlahan. Matanya sibuk mencari noda yang
tertinggal.
“Sana Eb cepat. Ih kamu nggak ngedengerin
kata Bu Reny tadi ya.” Ridwan, teman satu kelompok praktikum ku ini malah
memerintah juga.
“Iya tu Syuaib. Kamu mau Nata de coco nya
nggak jadi cuma gara-gara nggak steril? Kamu mau inhal(Praktik lagi karena
gagal praktik, atau sebab lainnya) lagi? Aku sih nggak mau” Aku terus
menguatkan pendapatku.
“Iya-iya mbak tak cuci” Syuaib mengalah
dengan aku dan Ridwan.
Bukan apa-apa kita mendiskriminasi Syuaib.
Kan aku cewek sendiri di kelompok ini. Syuaib sering memanggil teman-teman ceweknya
dengan ‘mbak’. Aku sendiri agak risih mendengarnya. Terdengar lebih tua.
Kelompok 3 yang beranggotakan 3 orang.
“Pakai kain saring nggak mbak?” Syuaib
mengangkat kain saring sembari bertanya.
“Ya pakailah, barangkali air kelapanya belum
bersih ”
Ridwan kemudian mengambil corong untuk
diletakkan diatas gelas ukur 1 liter. Aku menuang air kelapa yang ku bawa dari
rumah.
“Dikit lagi mbak. Pelan-pelan, udah hampir
satu liter ini”
“Ah berisik kau Eb” Ridwan dengan
bersungut-sungut menyerang Syuaib. Aku malah tertawa sendiri. Entah, aku dan
Ridwan kerap kali mengerjai Syuaib. Namun, Syuaib malah biasa-biasa saja.
Aku menuang air kelapa ke dalam panci email.
Menyalakan kompor sambil mengaduk perlahan.
“ZA nya berapa gram mbak?” Syuaib hobi
sekali bertanya.
“Ih, kamu tadi ngapain Eb? Nggak baca
proposalnya ya?” Aku jengkel sambil terus mengaduk.
Ridwan menimbang ZA dengan neraca analitik.
Mukanya serius sambil mengamati angka-angka yang kadang bertambah kadang
berkurang karena tiupan kipas angin.
30 Juli 2014 dilanjut tgl 2 Agustus 2014, 28
Agustus 2014
Komentar
Posting Komentar