Langsung ke konten utama

Tangis yang Tertahan


Malam itu pukul 20.00 WIB. Aku sedang berasa di toko obat untuk membeli sesuatu. Aku duduk di kursi pojok kanan untuk menunggu hujan reda meski aku membawa jas hujan yang menggelantung di motor setelah aku pakai. Beberapa menit kemudian, hujan reda. Aku tersenyum.
Aku segera keluar dari ruangan. Segera ku lipat jas hujanku yang menggelantung tak beraturan. Begitu kuangkat, rontok semua air yang menghinggapi sejak hujan tiba tadi. Udara kali ini benar-benar dingin. Aku hanya merapatkan jaket ke tubuhku. Sementara itu, bintang di langit tertutup mega yang hitam pekat. Tak mau hujan turun lagi, segera kupercepat langkahku. Begitu selesai melipat, jas hujan ku simpan di jok motor.
Entah dari mana ia datang. Ia muncul secara tiba-tiba. Begitu ku ambil helmku untuk ku bersihkan, Ia mendekat kepadaku. Raut mukanya menandakan ia sedang menandakan ia sedang tak enak badan, emosi, atau apalah. Muncul tanpa di undang, datangpun tanpa ekspresi sama sekali. Begitu mengerikan. Di hari biasanya, kulihat ia selalu ceria dan membuat orang tersenyum bahkan tertawa terpingkal-pingkal. Mungkin, humoris adalah kata yang tepat untuknya.
Ia mendekat beberapa langkah lagi. Hingga jarakku dan dia hanya lima langkah. Ia lantas berbicara. Begitu usai bicara, ia kemudian pergi tanpa mengucap sepatah kata apapun. Iya, tanpa salam penutup pula.
Aku hanya tertegun. Tenggorokkanku begitu tercekat. Nafas mulai memburu satu per satu. Jantungku seolah tertancap belati. Perih tak terkira. Aku berdiri mematung di samping motor. Kata yang diucapkannya, menampar perasaanku berulang kali. Lebih atas dibanding tingkat sarkasme. Ia, manusia humoris yang kesekian kali aku temui. Tanpa sadar, beberapa detik yang lalu menjelma menjadi monster yang mengerikan.
Kuakui, niatnya memang baik. Namun, apa yang difikirkannya tetap tak sama dengan cara yang aku fikirkan. Cara memandang masalah, kita melihat dari sudut yang berbeda. Jalan fikiran kita memang berbeda. Yang aku tahu hanya, nasihatnya mematahkan semangatku. Juga membunuh jiwaku. Sampai saat ini, aku benar-benar tak paham dengan jalan berfikirmu. Aku tak paham.
Dengan perasaan berantakan bak kapal pecah, aku menyalakan mesin motorku. Memanaskan mesin sebentar lalu ku putar gas sekencang mungkin. Hatiku benar-benar kalut. Gemuruh dalam dadaku benar-benar terdengar seperti gempa yang dahsyat. Kini, yang tersisa hanya kata tak terlupa begitu menyesakkan dada. Aku sulit bernafas. Bayang-bayang dirinya tak habis berputar di otakku. Aku ingin mengenyahkan dirinya dari otakku.
Jalan yang aku tempuh seperti bioskop yang memutar ulang kejadian tadi. Singkat namun menyesakkan. Tanpa sadar, aku menangis. Aku ingat, aku telah berjanji kepada diriku sendiri untuk tidak menangis. Tapi untuk kali ini janji itu terasa sangat susah. Aku mencoba untuk menahan air mata. Semakin ku tahan semakin sesak dadaku. Semakin ku tahan semakin tercekat tenggorokkanku. Aku tak ingat, kapan terakhir kali aku menangis.
Aku terus menahan tangisku. Namun kini, yang terdengar hanya suara sesenggukanku. Aku mencoba menarik nafas perlahan lalu menghembuskan perlahan pula. Lebih nyaman. Aku ingin pergi dari semua ini. Aku ingin pergi. Ya, pantai. Aku ingin ke pantai. Menceritakan kisahku kepada ombak yang berdebur. Angin yang bertiup kencang. Pohon kelapa yang melambai. Batu karang yang di terjang ombak berkali-kali. Aku ingin pergi. Benar-benar pergi dari sini. Untuk kau, terimakasih atas nasihat yang begitu mematikan.

Komentar