Ada bermacam-macam ekspresi
wajah tiap peserta. Terutama mereka yang menjadi “tumbal”. Ada keringat yang
terus menetes bak selesai mengelilingi lapangan bola. Ada raut wajah membungkam
tak ingin bicara sama sekali. Perasaan tak ingin kembali ke pos tiga adalah
yang utama.
Kali ini
sangga putri yang datang ke posku, pos penutup. Dua orang menjadi “tumbal”
sangga mereka mendahului temannya. Tiba di posku sambil terdiam. Mereka berdua
terlihat sedang menyelesaikan tugas, yaitu puisi.
“Yuk, laporan dulu” kataku.
“Nanti dulu mbak, aku belum selesai buat puisinya”
Tak beberapa lama kemudian,
teman satu sangganya tiba. Keadaan yang sepi langsung ramai.
“Mbak, ternyata ada foto di tengah makam. Sereeem” Adik
kelasku bercerita sambil bergidik ngeri.
“Sebelah mana?” Aku heran.
“Di tengah makam pokoknya. Fotonya diterangi lilin.
Tambah serem”
“Ohh. Iya po?”
“Iya mbak, pokoknya mengerikan. Matanya, matanya melotot
mbak”
“Aku malah belum survei di makam”
Kemudian mereka bercakap-cakap. Menunggu puisi selesai
dibuat.
“Nis, kamu tadi lihat nggak?”
“Lihat apa?”
“Sewaktu kita mengambil kertas tadi, tanggal kematiannya
sama dengan tanggal hari ini”
“Iya??? Ihhhh, udahlah aku takut”
Aku malah tersenyum
mendengarnya. Bahkan sedikit tertawa. Selama mengikuti rapat persiapan aku tak
tahu akan ada rencana tersebut. Yang jelas, ini ulah temanku yang jaga di dalam
makam. Kulihat mereka, menutup wajah masih dengan perasaan deg-degan.
Setelah laporan, mereka
berlari menuju tenda. Aku tahu mereka kecapaian, tapi aku juga lelah. Jam sudah
menunjukkan pukul 00.00 lebih namun, hanya sedikit sangga yang sudah sampai di
pos penutup. Aku tak yakin, kegiatan caraka malam ini akan selesai jam berapa.
Tengah malam lebih saja hanya beberapa sangga yang sudah selesai.
Seseorang berseragam pramuka
lengkap berjalan dari arah selatan menuju posku. Semakin lama semakin terlihat
jelas wajahnya. Ya, dia Reza. Anak kelas sebelas yang beda jurusan denganku.
Galau? Sedih? Itu tak akan terjadi kalau dekat dengan anak yang satu ini. Suara
khas tertawanya seperti listrik. Yang bakal menyengat. Kalau ia tertawa, aku
tak tahan mendengar suaranya yang agak unik itu. Lantas aku juga tertawa, haha.
“Dari mana za?”
“Dari jalan. Mengawasi
kelas satu biar nggak tersesat.”
“Emang ada sangga yang
salah arah?”
“Banyak. Kurang lebih lima
sangga”
“Loh kok bisa?”
“Bisa aja, soalnya jalan
gelap. Banyak tikungan”
“Ohh, sendirian?”
“Enggak. Sama anak DA yang
lain”
“Ada cerita lucu nggak tadi
za pas jaga?”
“Ada. Tadi, aku jaga di
belokkan jalan. Nggak ada lampu sama sekali. Suasana benar-benar sunyi. Sewaktu
sangga putri lewat, mereka bingung lurus apa belok. Lah kan aku gak terlihat.
Aku bilang aja luruuussss. Malah mereka lari ketakutan. Hahaha”
Kini kami berdua tertawa.
Padahal Reza tidak bermaksud menjahili. Dan ini, akhirnya aku tidak jaga
sendirian di pos penutup. Dari arah selatan terlihat satu sangga putra. Aku
beranjak berdiri.
“Ini pos mbak?”
“Ya, silahkan laporan
terlebih dahulu”
“Siap grak. Setengah
lencang kanan grak. Tegak grak. Kepada Kakak Dewan Ambalan hormat grak. Tegak
grak. Lapor, kami dari sangga Penegas telah selesai melaksanakan tugas”
“Ya, laporan saya terima.
Selamat datang di pos penutup. Disini tidak ada tugas. Kalian hanya mengumpulkan
tugas dari pos sebelumnya dan mitela. Silahkan kumpulkan mitelanya”
Mereka segera mengumpulkan
mitela pada kantong plastik yang telah ku sediakan.
“Kode kapling berapa?”
“Tujuh”
“Silahkan nanti temui Kakak
Dewan Ambalan di sekretariat untuk mengumpulkan kayu bakar. Paham?”
“Siappp paham”
“Pesan dari saya, silahkan
langsung tidur dan jaga kesehatan kalian masing-masing”
“Nanti mbak tidurnya.
Ngopi-ngopi dulu kek”
“Yaudah, terserah kalian”
“Tak tunggu lho mbak nanti
di tenda kami. Ingat, kapling nomor tujuh. Kapling nomor tujuh”
Salah satu dari mereka
mengangkat tujuh jarinya dengan nada menggoda. Karena aku tak ingin menanggapi
mereka, segera kububarkan barisan.
“Ambil alih komando. Tanpa
penghormatan, bubar jalan”
Komentar
Posting Komentar