Langsung ke konten utama

POS #3



Ada bermacam-macam ekspresi wajah tiap peserta. Terutama mereka yang menjadi “tumbal”. Ada keringat yang terus menetes bak selesai mengelilingi lapangan bola. Ada raut wajah membungkam tak ingin bicara sama sekali. Perasaan tak ingin kembali ke pos tiga adalah yang utama.
          Kali ini sangga putri yang datang ke posku, pos penutup. Dua orang menjadi “tumbal” sangga mereka mendahului temannya. Tiba di posku sambil terdiam. Mereka berdua terlihat sedang menyelesaikan tugas, yaitu puisi.
“Yuk, laporan dulu” kataku.
“Nanti dulu mbak, aku belum selesai buat puisinya”
Tak beberapa lama kemudian, teman satu sangganya tiba. Keadaan yang sepi langsung ramai.
“Mbak, ternyata ada foto di tengah makam. Sereeem” Adik kelasku bercerita sambil bergidik ngeri.
“Sebelah mana?” Aku heran.
“Di tengah makam pokoknya. Fotonya diterangi lilin. Tambah serem”
“Ohh. Iya po?”
“Iya mbak, pokoknya mengerikan. Matanya, matanya melotot mbak”
“Aku malah belum survei di makam”
Kemudian mereka bercakap-cakap. Menunggu puisi selesai dibuat.
“Nis, kamu tadi lihat nggak?”
“Lihat apa?”
“Sewaktu kita mengambil kertas tadi, tanggal kematiannya sama dengan tanggal hari ini”
“Iya??? Ihhhh, udahlah aku takut”
Aku malah tersenyum mendengarnya. Bahkan sedikit tertawa. Selama mengikuti rapat persiapan aku tak tahu akan ada rencana tersebut. Yang jelas, ini ulah temanku yang jaga di dalam makam. Kulihat mereka, menutup wajah masih dengan perasaan deg-degan.
Setelah laporan, mereka berlari menuju tenda. Aku tahu mereka kecapaian, tapi aku juga lelah. Jam sudah menunjukkan pukul 00.00 lebih namun, hanya sedikit sangga yang sudah sampai di pos penutup. Aku tak yakin, kegiatan caraka malam ini akan selesai jam berapa. Tengah malam lebih saja hanya beberapa sangga yang sudah selesai.
Seseorang berseragam pramuka lengkap berjalan dari arah selatan menuju posku. Semakin lama semakin terlihat jelas wajahnya. Ya, dia Reza. Anak kelas sebelas yang beda jurusan denganku. Galau? Sedih? Itu tak akan terjadi kalau dekat dengan anak yang satu ini. Suara khas tertawanya seperti listrik. Yang bakal menyengat. Kalau ia tertawa, aku tak tahan mendengar suaranya yang agak unik itu. Lantas aku juga tertawa, haha.
“Dari mana za?”
“Dari jalan. Mengawasi kelas satu biar nggak tersesat.”
“Emang ada sangga yang salah arah?”
“Banyak. Kurang lebih lima sangga”
“Loh kok bisa?”
“Bisa aja, soalnya jalan gelap. Banyak tikungan”
“Ohh, sendirian?”
“Enggak. Sama anak DA yang lain”
“Ada cerita lucu nggak tadi za pas jaga?”
“Ada. Tadi, aku jaga di belokkan jalan. Nggak ada lampu sama sekali. Suasana benar-benar sunyi. Sewaktu sangga putri lewat, mereka bingung lurus apa belok. Lah kan aku gak terlihat. Aku bilang aja luruuussss. Malah mereka lari ketakutan. Hahaha”
Kini kami berdua tertawa. Padahal Reza tidak bermaksud menjahili. Dan ini, akhirnya aku tidak jaga sendirian di pos penutup. Dari arah selatan terlihat satu sangga putra. Aku beranjak berdiri.
“Ini pos mbak?”
“Ya, silahkan laporan terlebih dahulu”
“Siap grak. Setengah lencang kanan grak. Tegak grak. Kepada Kakak Dewan Ambalan hormat grak. Tegak grak. Lapor, kami dari sangga Penegas telah selesai melaksanakan tugas”
“Ya, laporan saya terima. Selamat datang di pos penutup. Disini tidak ada tugas. Kalian hanya mengumpulkan tugas dari pos sebelumnya dan mitela. Silahkan kumpulkan mitelanya”
Mereka segera mengumpulkan mitela pada kantong plastik yang telah ku sediakan.
“Kode kapling berapa?”
“Tujuh”
“Silahkan nanti temui Kakak Dewan Ambalan di sekretariat untuk mengumpulkan kayu bakar. Paham?”
“Siappp paham”
“Pesan dari saya, silahkan langsung tidur dan jaga kesehatan kalian masing-masing”
“Nanti mbak tidurnya. Ngopi-ngopi dulu kek”
“Yaudah, terserah kalian”
“Tak tunggu lho mbak nanti di tenda kami. Ingat, kapling nomor tujuh. Kapling nomor tujuh”
Salah satu dari mereka mengangkat tujuh jarinya dengan nada menggoda. Karena aku tak ingin menanggapi mereka, segera kububarkan barisan.
“Ambil alih komando. Tanpa penghormatan, bubar jalan”

Komentar