Malam itu malam pertama di perkemahan. Semua anggota
Dewan Ambalan seragam memakai pakaian hitam termasuk aku. Tidak lain karena ada
acara di malam itu. Aku merasakan dinginnya udara. Benar-benar jauh lebih
dingin daripada udara rumah. Sementara itu, bintang terlihat begitu indahnya
bertebaran di langit. Tak tertutup mega sama sekali.
Kali ini aku sedang melihat pensi. Namun durasinya hanya
tiga menit untuk tiap perwakilan sangga. Ada yang menyanyi, musikalisasi puisi,
dan banyak lagi. Kanan kiri kolam ikan menambah suasana begitu menyenangkan.
Aku melihat pensi di belakang sangga putri kelas sepuluh. Sementara, temanku
menggerombol di jembatan antar kolam.
“Mbak, nanti kegiatan caraka malam boleh pakai jaket?”
“Boleh, pakai aja”
“Makasih mbak”
“Sama-sama”
“Nanti boleh bawa senter kan? Nggak lewat kuburan kan?”
Adik kelasku ini memang sangat penasaran dengan caraka malam nanti.
Aku tersenyum, “Ya nanti lihat aja”
Aku menikmati pensi malam ini. Hingga aku dipanggil
berulang kali oleh temanku namun aku tak mendengarnya.
“Kamu disuruh ke sekretariat ya, jaga pos kan nanti?”
“Oke siap”
Aku langsung berjalan dengan langkah cepat. Setibanya di
sekretariat teman DA (Dewan Ambalanku) sudah bersiap-siap dengan tugas
masing-masing. Ada yang mengenakan seragam pramuka lengkap dan pakaian serba
hitam. Aku segera ganti pakaian. Mengenakan seragam pramuka lengkap. Aku
merangkap pakaianku saja. Udara begitu dingin.
“Semuanya segera pakai seragam pramuka lengkap. Tiga
menit lagi kumpul di lapangan” Teriakan temanku yang satu ini benar-benar
seperti toa. Keras.
Semua kelas sepuluh dikumpulkan di lapangan. Satu
persatu sangga mulai melewati pos satu. Senter dikumpulkan. Tidak ada alat
bantu penerangan lain. Yang ada hanya satu lilin dan korek tiga batang untuk
tiap sangga. Tiap pos tersedia lilin dan korek api. Jumlah pos hanya berjumlah
tiga dan pos penutup.
Perlahan-lahan sangga mulai habis di lapangan. Aku
menengok jam. Masih jam sepuluh malam. Aku mengira-ngira, pasti mereka satu jam
akan sampai di pos penutup. Aku menyiapkan potongan kertas, spidol, dan
beberapa lembar kantong plastik untuk bekalku di pos penutup. Iya, aku akan
sendirian berjaga di pos penutup. Sendirian, sendiriannn.
Satu jam berlalu. Aku mulai berangkat ke pos penutup.
Pos penutup hanya berjarak beberapa ratus meter dari sekretariat. Aku duduk
sendiri di tangga. Tak ada orang sama sekali. Suasana sepi, hanya terdengar
percikan air karena gerakan ikan.
Lama-lama aku bosan. Ku tepis rasa bosan dengan
mengutak-atik hape. Rasa bosan tersingkir hanya beberapa menit. Lalu mulai
menyerangku lagi. Di sebelah selatan pos penutup ada kuburan. Jarak pos tiga
dengan pos penutup hanya tiga ratus meter. Aku berjalan sendiri menuju kuburan.
Seseorang terasa mengikutiku dari belakang. Berulang kali aku menengok ke belakang
namun tak ada orang. Menengok ke kanan dan ke kiri. Sepi. Bulu kudukku
merinding.
Aku berjalan lalu sampai di pintu gerbang. Sebelum pintu
gerbang terdapat semacam pos untuk menjaga pintu masuk. Aku berjalan perlahan.
Yang terdengar hanya suara gesekan sepatuku dan tanah. Srek srek srek. Aku
kaget bukan kepalang. Aku melihat sepatu di dekat kursi. Aku melangkah lagi.
Ada dua sepatu. Aku tak asing melihat sepatu tersebut.
Aku melangkah lagi. “Aaaa” Aku berteriak. “Ternyata kamu
Nin. Tak kira siapa”. Ya, sepatu itu milik Ninda. Ninda duduk sendirian di
pintu masuk. Aku sempat mengira tak ada siapa-siapa.
Komentar
Posting Komentar