Ujian Kenaikan Kelas
praktik maupun teori sudah selesai beberapa hari yang lalu. Sebentar lagi
tempelan papan pengumuman akan penuh. Banyak siswa yang berkerumun disitu.
Tatapan kecewa dan senang pasti ada. Apalagi kalau bukan tempelan daftar nama
siswa yang remidi. Entah jadwal remidi ataupun tugas yang belum diselesaikan.
Aku malas untuk berangkat
sekolah. Informasi remidi kutanyakan pada temanku yang satu ini. Agung. Ia
rajin berangkat meskipun tak ada pelajaran atau remidi. Entah, apa motivasinya
itu. Untuk saat ini aku tak tahu. Mungkin, lain kali bisa kutanyakan. Emmm,
tapi untuk apa? Oh iya, untuk menuntaskan rasa kepoku. Iya, aku memang kepo.
Sejauh ini, ada 6 pelajaran
yang sudah diumumkan daftar remidinya. Iya, baru sepertiga dari keseluruhan
mata pelajaran. Masa-masa seperti ini seperti libur belum resmi bagiku. Aku
hanya berangkat kalau ada keperluan. Selebihnya aku di rumah. Ini masalahnya,
aku mempunyai banyak waktu luang di rumah. Ternyata bosan menyerangku pula.
Membaca buku cerita, menulis, olahraga itulah beberapa kegiatanku untuk
mengusir bosan.
Siang itu, aku lapar. Aku
ingin masak mie ayam. Sementara itu, bahan-bahan sudah tersedia. Tinggal diolah
saja. Mudah bagi orang yang sudah berpengalaman dengan wajan, minyak, dan
sebagainya. Tidak, bagiku. Aku memang jarang masak. Setiap hari Senin hingga
Jumat aku berangkat sekolah. Pulang sekolah hari sudah sore. Makanan sudah
tersedia. Badanku juga lelah, namun tugas menunggu untuk dikerjakan. Hari Sabtu
aku berangkat ke sekolah untuk mengikuti ekstrakurikuler. Hari Minggu kadang
ada kegiatan di luar rumah. Kesempatanku belajar masak sempit.
Siang itu, aku akan mencoba
memasak. Menu kali ini adalah mie ayam. Setelah kupersiapkan bumbu, kemudian
aku merebus sayur. Sembari mengaduk, aku rasa ada yang aneh. Kulihat nyala api.
Mati. Aaaaaa gasnya habis. Padahal suhu air sudah hangat, tinggal menunggu
mendidihnya saja. Aku berfikir keras. Kulihat setumpuk kayu bakar kering
disampingku. Tapi kan susah, mana asapnya hitam, banyak lagi. Aku tak mau
menggunakan kayu bakar. Tapi, mie ayam sebentar lagi sudah siap makan.
Aku mencari-cari sesuata ke
dalam kamarku. Bingung. Ahhaaaa. Masih ada sisa parafin. Parafin ini terbuat
dari minyak bumi. Wujudnya seperti lilin putih namun berbentuk kotak. Aku
menyimpannya setelah berbulan-bulan yang lalu kubeli. Namun baru terpakai satu
kotak saja. Tiap box, parafin berjumlah delapan kotak. Harganya sekitar dua
puluh ribuan. Biasanya, anak Pramuka pasti tahu parafin. Tiap diksar, menginap
apalagi, parafin pasti dibutuhkan.
Segera kuambil parafin yang
bersampul doreng hijau seperti tentara itu. Kubuka lalu kuambil 2 kotak.
Kutaruh parafin di sebuah anglo. Kunyalakan
api. Tak berapa lama kemudian, api menyala. Segera kuangkat wajan lalu ditaruh
diatas anglo tersebut. Kumasak bumbu
hingga matang. Kemudian ku rebus sayur yang belum sempat matang tadi.
Hanya membutuhkan 2 kotak
parafin dan waktu lima menit, mie ayam akhirnya jadi sudah. Kumatikan nyala api
dengan menaburkan tanah pada parafin yang masih menyala. Bau parafin memang tak
enak, namun manfaatnya luar biasa.Ini berkat kusimpannya parafin tersebut. Aku tahu parafin gara-gara diksar suatu saka
di Kota Yogyakarta.
Kerja masakan ini dapat dari lain
BalasHapus