Langsung ke konten utama

Lost at Kuta Beach #3



Dari sekian banyak penumpang hanya kurang aku saja? Heran. Irfan masih sama. Berulang kali memberhentikan angkutan yang lewat namun gagal. Suasana tak berubah. Hawa dingin merasuk tubuh. Tiba-tiba hapeku bergetar lama lagi. Satu panggilan masuk.
“Set kamu dimana”
“Aku nggak tahu Na. Aku benar-benar tak tahu arah”
“Kamu tahu Anisa nggak set? Cuma kurang dia dirombongan setelku?”
“Tahu Na, Anisa tersesat bareng aku.”
Tut tut tut tut. Sambungan telepon terputus. Aku hanya mendengus kesal. Kulihat hapeku. Beberapa menit lagi sudah mati. Mana situasi kaya begini lagi. Hufttt keadaan benar-benar tak mendukung.
“Yuk kita jalan kesana aja” Irfan menunjuk jalan.
Kusipitkan mataku. Suasana hujan, banyak lampu yang menyala, dan jarak pandang yang jauh mempengaruhi penglihatanku. Pandangan menjadi sedikit kabur. Aku dan kedelapan temanku berlari menembus hujan. Tatapan aneh kami hiraukan. Kami tersesat. Benar-benar tersesat dari rombongan. Aku tak menyangka kejadian seperti ini. Aku menyangka akan melihat sunset, iya setelah acara melihat sunrise di Tanah Lot gagal. Tapi yang terjadi, hanya sunset di Pantai Kuta, cuma fatamorgana semata. Aku kesal.
Akhirnya kami berjalan bersama. Kira-kira menuju arah barat. Karena aku tak tahu arah sama sekali. Kami berjalan dengan langkah cepat. Kecipak air semakin mengotori rok ku. Di depan kami ada tempat duduk dengan atap. Tidak besar, namun lumayan untuk berteduh dua puluh orang. Tempat seperti itu kalau di daerahku bernama ‘cakruk’.
Tiba di cakruk aku terdiam, berdiri dengan posisi membungkuk. Maagku kambuh. Sakitnya luar biasa. Untuk berdiri tegak saja aku meringis kesakitan. Apalagi berjalan dengan langkah cepat, sementara itu kehujanan pula. Jujur, aku ingin muntah namun kutahan.
“Kamu kenapa Set” tanya Anisa.
“Maagku kambuh, Nis”
“Pasti sakit banget ya?”
Aku terdiam sambil memegangi perutku.
“Disini deket apotek nggak sih Han?” Anisa bertanya pada Hana.
“Aku tadi lihat di sebelah sana Nis, kita udah melewati tadi”
“Aku ke apotek sebentar ya. Kasihan aku melihat Setya begitu”
Kuamati Anisa berjalan menembus hujan deras. Jaket oranyenya sudah basah kuyup. Langkah kecilnya semakin lama tak terlihat. Aku lalu duduk, tentu saja masih memegangi perut. Teman-temanku yang lainnya sibuk menghubungi teman ataupun guru satu sekolah. Kemudian Anisa datang membawa obat maag cair. Aku tahu, itu obat maag yang dosisnya sedang. Aku biasanya pakai yang dosis rendah. Semakin tinggi dosisnya, semakin cepat pula sembuhnya.
“Ini Set, cepat kamu minum biar maag nya sembuh”
“Makasih Nis”
Aku lalu meminum obat tanpa menggunakan sendok. Tanpa pakai air minum pula. Ini yang ku khawatirkan terjadi. Maagku kambuh dan aku lupa bawa obat maag. Parah. Hapeku bergetar.
“Halo Dev”
“Set, kamu dimana? Kamu dicariin banyak orang lho”
“Aku udah tahu Dev. Emang, setelnya kumpul dimana?”
“Hotel De Stones” Aku tidak mendengar.
“Hallooo Dev, dimanaaaaaa?” Aku setengah teriak.
“Di Hotel De Stones”
Tut tut tut. Sambungan terputus. Aku menghela nafas. Kenapa setiap panggilan penting seperti ini mesti endingnya terputus. Udara kini begitu dingin. Didukung suasana malam hari, hembusan angin, dan juga baju yang basah luar dalam. Kami seperti anak yang ditelantarkan. Komunikasi dan pelayanan biro jasa tour travel yang benar-benar buruk.
Hapeku bergetar lagi. Ada dua orang yang menelfon. Yaitu guru aljabarku dan temanku.
“Han, Nis Bu Nuniek dan Ana nelfon aku”
“Ayo angkat Set” Wajah Anisa dan Hana tampak gembira.
Kuangkat panggilan dari guruku terlebih dahulu. Aku tersenyum. Ini pencerahan, begitu pikirku. Ketika kuangkat, klapppp. Hapeku mati.

Komentar