Langsung ke konten utama

Lost at Kuta Beach #2



Pak sopir melewatkan setelnya melewati jalan tikus. Tak seutuhnya melewati jalan raya. Tentu saja kemacetan adalah alasan yang dihindarinya. Kami menikmati pemandangan di jalan walaupun kondisi berdesakkan. Ini memang sensasi tersendiri. Aku sadar, Pulau Bali memang indah. Suasana Hindu dan adatnya sangat terasa begitu menginjakkan kaki di Pulau Bali. Kalaupun liburan diperpanjang aku pun sangat setuju.
Tak sampai setengah jam kami tiba di Pantai Kuta. Tanpa berlama-lama di dalam setel kami langsung menghambur menuju Pantai Kuta. Pantai Kuta, dengan pemandangan yang memukau, deburan ombak yang lembut, birunya air,  juga landainya pantai. Tak ketinggalan pesona pasir putih yang menambah lebih eksotis. Tak heran bila aku sangat menyukai pantai. Tiba-tiba aku teringat pesan ayahku. Ayahku selalu melarangku untuk bermain air di pantai. Karena ombak pantai selatan kotaku terkenal berbahaya. Untuk saat ini, aku bebas bermain air laut. Namun, kendalanya satu yaitu baju ganti. Cukup duduk berlama-lama di bibir pantai saja sudah membuatku senang. Perlahan, hembusan angin laut terasa mengaburkan masalahku.
Aku dan Hana melihat sekeliling. Tak ada rombongan teman dekat kami. Di sana, disebelah timur akhirnya kami menemukan rombongan sekolah kami. Hanya berjumlah delapan orang, laki-laki semua pula. Tak ketinggalan, memotret adalah hal wajib.
Bukan Pantai Kuta namanya jika tidak menemukan turis asing di sana. Tua muda semuanya ada. Hari kini menjelang malam. Sebentar lagi matahari akan pulang ke peraduannya. Sunset akan tiba. Ratusan kamera siap mengabadikan momen tersebut. Namun, matahari tertutup awan mendung. Hari semakin sore namun awan semakin hitam. Lalu rintik hujan turun. Aku dan temanku menghambur keluar dari wisata Pantai Kuta. Mencari tempat untuk berteduh.
Di samping pos satpam kami berteduh. Ada aku, Anisa, Hana, dan beberapa teman laki-lakiku. Kami bukan berteduh di dalam ruangan. Melainkan di luar tembok yang hanya kebagian sisa atap. Hujan semakin lama semakin deras. Cipratan air membasahi rokku juga celana panjang milik temanku. Rokku yang berwarna putih kian lama berubah coklat tak berwujud. Aku terjebak hujan deras dengan beberapa temanku. Aku tak tahu apa hanya kami saja yang terjebak sementara yang lain tidak. Aku tak tahu.
Kini hari sudah gelap. Kami sudah cukup lama menunggu kabar di pos satpam ini.  Oh iya, aku baru saja ingat. Tadi sewaktu menuju Joger, aku diberi nomor hape salah satu anggota biro jasa yang kami gunakan. Satu pesan terkirim. Tak lama lagi satu pesan masuk mendarat di hapeku. Aku tersenyum.
“Tunggu saja setel di utara jalan” Aku berbicara agak keras memecah hujan juga keheningan. Lalu kulanjutkan, itu lho perusahaan Franchise. Setelah mengamankan kamera dan hape kami menembus hujan. Baju basah tak jadi masalah. Asalkan kami segera ke hotel.
Hujan masih sama seperti tadi, deras. Berpuluh menit kami menunggu setel yang kami tumpangi tadi. Aku hanya diam memeluk tubuhku sendiri. Dingin. Juga Anisa dan Hana, diam tak bersuara. Irfan, dengan kondisi kehujanan ia memberhentikan setel yang berulang kali lewat di depan kami. Namun nihil. Tak ada kendaraaan yang berhenti.
Tiba-tiba, hapeku bergetar cukup lama. Aku mencari hapeku yang kuletakkan di dasar tisu untuk mencegah air masuk.
“Halo assalammualakum” Aku mulai membuka pembicaraan.
“Waalaikumsalam. Kamu dimana Set?” Suara lirih terdengar dari kejauhan.
“Aku, aku ada di, di...” Kujauhkan hapeku dari telingaku,
“Han, kita ada dimana”
“Nggak tahu set”
“Na, halo” Tak ada jawaban.
“Halooo” Aku berteriak seperti orang gila
“Aku nggak tahu tempat Na. Nggak tahu arah juga”
“Kamu dicari Set. Cuma kurang kamu aja di setel”
Aku kaget. Cuma kurang aku? Tiba-tiba panggilan terputus.

Komentar

Posting Komentar