Langsung ke konten utama

Lost at Kuta Beach #1



“Haduhhh” Aku menepuk jidatku.
“Kenapa set” Hana bingung dengan tingkah anehku.
“Aku lupa Han. Tasku masih di tempat penitipan tas. Lah kan tadi tasku dimasukkin tasnya Devi biar hemat tempat. Nah, masalahnya nomornya dibawa Devi”
“Sekarang Devi dimana Set?”
“Masih di dalam Joger. Baru memilih baju”
“Set, ini udah jam empat. Gimana ni? Nanti kita di Pantai Kuta cuma sebentar, nanti nggak kebagian sunset”
“Iya Han. Coba Devi ku sms. Barangkali dia langsung kesini”
Lima menit berlalu. Masih tak ada jawaban sama sekali. Sementara, teman-temanku silih berganti naik setel (semacam angkutan umum di Bali). Kulihat wajah Hana, cemas.
Aku masuk lagi ke Joger mencari Devi. Tempat sandal tak ada, lalu kucari ke tempat baju. Nah itu dia. Aku tersenyum.
“Dev, aku pinjam nomornya. Aku mau ambil tasku. Nanti tak balikin kamu wes”
Tanpa banyak kata, Devi mengulurkaan nomor tersebut. Aku langsung lari ke pintu masuk untuk mengambil tas. Aku seperti lomba maraton dalam ruangan. Tak peduli tatapan aneh dari pengunjung lain melihatku berlari dalam sebuah toko.
“Ini Han, aku titip tasku dulu” Aku mengulurkan tasku kepada Hana.
Lalu aku kembali berlari ke dalam ruangan. Menghemat waktu. Mencari Devi lalu mengembalikan nomor tersebut. Mungkin, kalau aku memakai celana panjang, aku akan lebih leluasa lari dan melangkah selebar mungkin. Namun tidak untuk saat itu. Tak lama kemudian aku sudah di samping Hana. Sejujurnya aku malu, tatapan bingung penjaga pintu masuk yang menempeli stiker untuk setiap pengunjung.
“Makasih Han”
“Sama-sama Set. Yuk langsung ke tempat setelnya”
“Ayok”
Kemudian kami berjalan beriringan. Joger memang terletak di tepi jalan raya. Sehingga tak perlu waktu lama untuk sampai ke jalan raya. Suasana jalan raya sore ini ramai, tak berbeda jauh dengan jalan raya di kotaku. Pusat pariwisata dan mendekati jam sibuk adalah penyebabnya.
          Aku hanya bengong. Tempat duduk yang biasanya hanya muat dua orang kini terisi tiga orang yaitu aku, Hana, dan Janah. Untung saja, kami bertiga memiliki berat badan yang tak terlalu berat. Tak terlalu menguras tempat duduk. Aku memilih tempat di depan, yakni disamping sopir.
“Dihitung , udah berapa penumpangnya” Pak Sopir bertanya dengan logat khas Bali.
Janah kemudian menghitung aku dan temanku yang berada di dalam setel.
“Lima belas orang Bli,”
“Masih kurang”
Aku hanya melongo. Sepadat ini masih belum cukup juga? Kami menunggu lima orang agar setel bisa mengantar kami ke Pantai Kuta. Tak perlu menunggu lama lagi, setel terisi dua puluh satu orang. Benar-benar fantastis. Entah, berapa maksimal berat setel dan seluruh penumpang yang diperbolehkan. Lalu, setel merayap perlahan di tengah padatnya arus lalu lintas Kota Denpasar.
Aku masih ingat tiga tahun lalu. Saat itu aku masih duduk di bangku putih biru. Iya, dari tempat yang sama dan menuju tempat yang sama. Namun aku lupa nomor berapa setel yang kutumpangi. Saat itu aku dan temanku satu setel dengan guru geografi sekaligus guru ekonomi. Nama beliau adalah Pak Untung. Jangan khawatir, rasa galau tak akan menyerang jika ngobrol dengan beliau. Di setiap injakan gas kami selalu dibuat tertawa oleh beliau. Karena setel bersuara seperti mengerang. Seolah tidak kuat menopang seluruh berat penumpang.

Komentar