Langsung ke konten utama

Putih Abu-Abu #2

Aku mengingat-ingat teknik yang dijelaskan sebelumnya. Tangan kanan memegang tali yang ada di bawah badanku. Tangan kiri memegang tali di atas kepalaku. Aku turun perlahan. Tangan dan badanku tidak bergerak sama sekali.
“Diulur talinya mbak pakai tangan kanan”
“Takut pak, nanti kalau jatuh gimana?”
“Enggak. Diulur sedikit demi sedikit saja”
Kaki ku menapak papan yang arahnya vertical. Jadi, posisiku membentuk sudut 90 derajat.  Daripada aku nggak turun-turun ke bawah, aku mengulur tali. Kurengganggkan pegangan taliku dengan kedua tangan selama dua detik. Aku menjejakkan kaki kemudian. Lalu, ku kencangkan pegangan tanganku lagi. Aku berhasil turun sekian meter saja.
“Bagus mbak, lanjutkan lagi sampai ke bawah”
Teman-teman ku di bawah sana bertepuk tangan sambil bersorak. Aku tidak takut lagi rapling setelah adegan pemaksaan naik oleh pak polisi. Terimakasih pak.
*aku nulisnya dengan keringat yang pelan-pelan keluar dari telapak tangan dan telapak kaki*
Hari itu kami latihan upacara penutupan.
“Ambil alih komando, semuanya siap grak” Suara lantang pak polisi terdengar.
Kami berbaris rapi di lapangan mematuhi perintahnya.
“Eh itu, yang di samping tiang bendera sambil duduk siapa?” tanya temanku berbisik.
“Aku nggak tahu. Katanya sih dia sakit maag, jadinya disuruh pak polisi duduk di depan sana”
“Ohhh”
Beberapa waktu kemudian, saat selesai latihan upacara penutupan.
“Ini CD (Celana Dalamnya) siapa?” Pak polisi mengangkat CD itu ke udara.
“Di temukan di depan kamar mandi”
Semua peserta terdiam.
“Ini tas mandinya siapa?” Pak polisi mengangkat tas mandi cewek itu ke udara.
Semua peserta terdiam.
“Kalau tidak ada yang mengaku. Semuanya saya hukum” Pak polisi mengeraskan suaranya sambil berjalan mengelilingi peserta kedisilpinan.
Temen-temen perempuan berbisik.
“Itu bukan punyaku”
“Bukan punyaku juga”
“Kalau yang perempuan tidak ada yang mengaku tas mandinya, semua peserta perempuan saya hukum. Kalau yang laki-laki tidak ada yang mengaku CD nya, semua peserta laki-laki saya hukum”
Semua terdiam. Tiba-tiba Dheta maju,
“Itu punya saya pak”
Pak polisi memberikan tas mandi berisi sabun, facial wash, dan lainnya kepada Dheta. Dheta masuk ke barisan lagi.
“Daripada kita dihukum mendingan itu buatku, lumayan buat mandi sekian hari”
Dengan majunya Dheta, berakhirlah masalah kami, peserta perempuan. Tinggallah masalah untuk peserta laki-laki. Pertanyaan pun muncul,
“Siapa sebenarnya pemilik CD tersebut”
Bermenit-menit kemudian tidak ada yang menunjukkan tanda-tanda mau mengambil CD berwarna dongker di tangan pak polisi.
“Kalau begitu kalian semua yang putra saya hukum”
Aku terdiam. Suasana mendadak tegang. Semua deg-degan dengan hukuman apa yang akan di berikan kepada peserta putra. Pak polisi kemudian melancarkan aksinya. Pak polisi yang memegang CD menyusup ke barisan putra. Kebetulan disampingku pas adalah barisan putra paling ujung timur. Pak polisi mengusapkan CD itu satu per satu ke pipi peserta putra. Aku hanya melongo dibuatnya. Sampai di ujung paling timur putra, aku masih melihat tingkah pak polisi tersebut,
“Kamu mau juga?”
“Enggak pak, makasih pak”
Penutupan pendidikan kedisiplinan selama tiga hari dua malam itu ditutup dengan pengolesan CD ke peserta putra.

Komentar