Aku makan siang dengan lahapnya. Apalagi dengan kerupuk ada pula sambal. Wahhh ini nikmat sekali. Makan siang tak afdhol kalau tak pakai kerupuk dan sambal. Saat aku menyuapkan sendok ke mulutku,
“Dek, mbok dikurangi maemnya. Diet” Wajah kakakku tak nampak bercanda.
Aku hanya menanggapi dengan alis hampir menyatu. Diet? Kosa kata yang nggak ada di kamus kehidupanku. Muncul di angan-angan pun tidak. Apalagi mempraktikannya? Mustahil. Setelah makanku selesai.
“Diet? Ogahh” Aku berjalan menjauh dari kakakku sambil membawa piring kotor.
Kakakku hanya geleng-geleng saja. Aku tak habis pikir dengan apa yang dikatakan kakakku. Aku disuruh diet. Tinggiku sekitaran 153 cm, berat badanku 55 kg. Disuruh diet pula. Haisss saran macam apa ini?
Menurut tanggapan kakakku, aku ini terlalu gendut dan tidak proporsional. Halah, nggak kepikiran juga aku dengan kosa kata proporsional. Percaya deh iya percaya. Kakakku yang sering lari. Dulu, aku sering diajak lari. Aku disuruh jalan atau naik motor juga nggakpapa untuk mengawal dia. Berkali-kali pula aku tak mau diajak lari. Aku memilih tiduran sambil membolak-balik novel.
Kakakku juga sering push up, sit up di ruang tamu. Aku di suruh menduduki kakinya saat sit up. Suruh menghitung pula. Target sit up nya adalah…aku lupa wkwk. Katanya, biar membentuk otot di perut dan jadilah six pack. Kakakku yang menyuruh aku untuk meninju-ninju lengannya saat otot bisepnya kontraksi. Katanya, pukulanku tidak kerasa. Aku mendenguskan nafas.
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Bulan berganti tahun. Setelah dua tahun kejadian aku disuruh diet, keadaan berbalik.
“Kok sekarang kamu kurusan Dek?” Kakakku melihatku dari ujung kaki sampai ujung kepala.
“Entah” jawabku singkat.
Banyak orang yang mengatakan aku kurusan. Apa iya? Tapi, baju agak lama yang kekecilan coba tak pakai kembali. Hasilnya muat. Malah ada yang terlihat agak besaran. Aku lalu ke apotek deket rumah. Jarum menunjukkan angka 48kg. Gilaaaaa. Aku turun tujuh kilogram tanpa tetek bengeknya program diet. Disaat teman-teman lain berusaha mengendalikan porsi makannya, aku sedang mengendalikan perasaan. Disinilah perasaan sangat berpengaruh signifikan terhadap penurunan ataupun kenaikan berat badan.
Sementara itu, kakakku masuk ke kamarnya. Keluar dari kamar memakai celana jeans panjang. Dia mematut-matut di depanku.
“Dek, kekecilan ya?”
Tawaku langsung meledak. Kakakku hanya senyum-senyum saja melihat tingkah anehku. Aku yang sedang di atas kasur kamar tidur, sempat berguling-guling. Rambutku berantakan. Ku belakangkan rambutku hingga mataku melihat dengan jelas.
“Hahahaha membengkak. Sudah cocok kayak boyband tuh. Celananya pres banget”
Kakakku masih mematut-matut di depanku, seolah aku ini cerminnya. Mungkin, inilah yang dinamakan keseimbangan. Berat badanku menurun dan berat badan kakakku meningkat…drastis. Yeah, keduanya sama-sama drastis.
Note : Dari adikmu yang berhasil diet tanpa menjalani program diet yang terstruktur. Insidental saja.
“Dek, mbok dikurangi maemnya. Diet” Wajah kakakku tak nampak bercanda.
Aku hanya menanggapi dengan alis hampir menyatu. Diet? Kosa kata yang nggak ada di kamus kehidupanku. Muncul di angan-angan pun tidak. Apalagi mempraktikannya? Mustahil. Setelah makanku selesai.
“Diet? Ogahh” Aku berjalan menjauh dari kakakku sambil membawa piring kotor.
Kakakku hanya geleng-geleng saja. Aku tak habis pikir dengan apa yang dikatakan kakakku. Aku disuruh diet. Tinggiku sekitaran 153 cm, berat badanku 55 kg. Disuruh diet pula. Haisss saran macam apa ini?
Menurut tanggapan kakakku, aku ini terlalu gendut dan tidak proporsional. Halah, nggak kepikiran juga aku dengan kosa kata proporsional. Percaya deh iya percaya. Kakakku yang sering lari. Dulu, aku sering diajak lari. Aku disuruh jalan atau naik motor juga nggakpapa untuk mengawal dia. Berkali-kali pula aku tak mau diajak lari. Aku memilih tiduran sambil membolak-balik novel.
Kakakku juga sering push up, sit up di ruang tamu. Aku di suruh menduduki kakinya saat sit up. Suruh menghitung pula. Target sit up nya adalah…aku lupa wkwk. Katanya, biar membentuk otot di perut dan jadilah six pack. Kakakku yang menyuruh aku untuk meninju-ninju lengannya saat otot bisepnya kontraksi. Katanya, pukulanku tidak kerasa. Aku mendenguskan nafas.
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Bulan berganti tahun. Setelah dua tahun kejadian aku disuruh diet, keadaan berbalik.
“Kok sekarang kamu kurusan Dek?” Kakakku melihatku dari ujung kaki sampai ujung kepala.
“Entah” jawabku singkat.
Banyak orang yang mengatakan aku kurusan. Apa iya? Tapi, baju agak lama yang kekecilan coba tak pakai kembali. Hasilnya muat. Malah ada yang terlihat agak besaran. Aku lalu ke apotek deket rumah. Jarum menunjukkan angka 48kg. Gilaaaaa. Aku turun tujuh kilogram tanpa tetek bengeknya program diet. Disaat teman-teman lain berusaha mengendalikan porsi makannya, aku sedang mengendalikan perasaan. Disinilah perasaan sangat berpengaruh signifikan terhadap penurunan ataupun kenaikan berat badan.
Sementara itu, kakakku masuk ke kamarnya. Keluar dari kamar memakai celana jeans panjang. Dia mematut-matut di depanku.
“Dek, kekecilan ya?”
Tawaku langsung meledak. Kakakku hanya senyum-senyum saja melihat tingkah anehku. Aku yang sedang di atas kasur kamar tidur, sempat berguling-guling. Rambutku berantakan. Ku belakangkan rambutku hingga mataku melihat dengan jelas.
“Hahahaha membengkak. Sudah cocok kayak boyband tuh. Celananya pres banget”
Kakakku masih mematut-matut di depanku, seolah aku ini cerminnya. Mungkin, inilah yang dinamakan keseimbangan. Berat badanku menurun dan berat badan kakakku meningkat…drastis. Yeah, keduanya sama-sama drastis.
Note : Dari adikmu yang berhasil diet tanpa menjalani program diet yang terstruktur. Insidental saja.
Komentar
Posting Komentar