Langsung ke konten utama

Sepotong Kenangan

Tadi, sekitar jam 21.00 WIB aku baru menulis tentang Kirab yang ke dua. Aku menulis di tempat yang biasa buat aku nulis yakni di kamar tamu. Kursi paling timur sendiri dengan ventilasi udara di dekatnya. Di temani laptopku yakni si Sozzy. Sebelumnya aku tidur terlebih dahulu. Jadilah efek belum sadar masih menguasai tubuhku. Kemudian, aku hanya memandangi laptop saja.
“Tok tok tok”
Aku diam saja.
“Tok tok tok”
Aku sadar. Ada yang mengetuk pintu rumah sebelah timur. Tepat di sampingku. Aku beranjak membukanya kemudian. Terlihatlah sepupuku, Mbak Ani dan menantu budhe, Mbak Ambar.
“Bapak ada ya?”
“Bapak pergi mbak, baru aja. Tadi ronda”
Muka Mbak Ani datar semi aneh gitu. Aku tak paham.
“Kenapa Mbak?”
“Mas Suko nggak ada”
“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un”
Aku lemas kemudian. Mengingat informasi ini harus segera sampai ke bapak, aku bersiap. Menyambar rok, kerudung, dan kacamata.
“Tak nyari bapak dulu mbak,”
Sepanjang jalan aku berpikir. Aku mau muteri kampung kah?  Rondanya di tempat siapa aku tidak tahu. Yang penting aku jalan. Yakin, di sepanjang jalan dadaku bergemuruh. Lunglai. Tidak bertenaga. Kabar itu seolah menghantamku dengan kasarnya.
Aku langsung mengetuk pintu tetangga yang satu kelompok dengan bapak. Kutanyakan tempat rondanya dimana ya? Enggak tahu juga. Aku terus berjalan ke utara, bertemu Ikhsan sedang nongkrong dengan beberapa pemuda lainnya.
“Mau kemana ya?”
“Nyari bapak. Ronda hari ini tempatnya di mana ya?”
“Di rumahnya Mas Yudi” seseorang menjawab.
Aku langsung pergi melangkah cepat. Tak mengucapkan patahan kata terima kasih juga kepada pemberi info. Aku benar-benar tak sadar.
“Mau minta uang po ya?” godanya saat aku mulai menjauh dari tongkrongan mereka
“Jiahh”
Aku langsung berlari.
Di tkp aku langsung memberi tahu bapak. Bapak juga terlihat shock. Keponakannya meninggalkan dunia menyusul bapaknya dua tahun kemudian. Sampai rumah, bapak langsung menunggangi motor menuju rumah Budhe. Kembalilah aku menatap kosong laptop. Ya Allah Mas, secepat ini kah meninggalkan kami.
Mas Suko adalah sepupuku juga. Jarak kami dua puluh tahunan. Mas Suko dulunya suka nge chat aku di facebook. Kegiatanku apa. Ujiannya kapan. Ngomen status facebookku. Ngasih semangat di chat facebook. Sesederhana itu. Lalu, saat lebaran fitri, mas Suko datang ke rumah beserta saudaranya. Mas Suko memberikanku angpau. Uang di dalamnya pasti baru. Aku suka itu hehe.
Tiap kali aku sakit. Ayah pasti membawaku ke klinik dekat rumah Budhe. Artinya, Mas Suko juga ada disitu. Mas Suko membengkel motor dengan terampilnya. Tiap kali aku dan Ayahku mampir untuk mengisi waktu menunggu antrian periksa yang panjang, Mas Suko selalu menanyakanku. Sakit apa? Trus kami di jamu sedemikian rupa. Parahnya, aku tak menghabiskan makanan yang di jamu karena kondisiku sakit.
Mas Suko juga kerap menanyakanku. Tya yang mana? Karena kemiripanku dengan adikku.
“Aku Tya, Mas hehe” jawabku.
Ada seseorang yang menyalahgunakan foto beliau yang ada di facebook. Maka, dihapuslah akunnya. Barangkali kalian menemukan statusku beberapa tahun lalu dan menemukan seolah-olah aku mengomentari statusku tanpa ada lawannya. Nah,itu aku sedang menanggapi Mas Suko.
“Kematian datang tiba-tiba. Tanpa melihat usia tua ataupun muda. Semuanya bisa. Terlebih lagi, dengan singkatnya umur kita yang sampai kapan kita tidak tahu. Apa yang telah kita persiapkan? Tentang dosa. Aku sampai tak sanggup mengejanya. Terlalu banyak kesalahan, kealpaan yang kita perbuat. Ya Allah ampunilah kami”

Pada akhirnya teriring doa untukmu Mas,
“Ya Allah ampunilah dia, sayangilah dia, dan maafkan kesalahan-kesalahannya”

Tak terasa air mata ini menetes.

Bantul, 11 Oktober 2017.
01;44 AM

Komentar

Posting Komentar