Setiap kali hujan, tiap tetesnya mampu meresonansikan kenangan. Bayangkan, berapa milyar tetes yang berjatuhan dari atas sana. Sebanyak itu pula tetes hujan meresonansikan kenangan orang banyak. Kenangan itu menguap memenuhi atmosfer.
Kali ini, hujan meresonansikan mu, iya kamu. Kejadian bersamamu berkelebat silih berganti begitu saja. Tanpa bisa aku hentikan. Aku hanya bisa menikmati saja. Menikmati kenangan silih berganti yang berputar-putar di otak. Entah sampai kapan. Apakah saat tetes hujan terhenti, resonansi nya pun ikut terhenti pula. Kamu, bisa menjamin tidak?
Aku terhenyak. Mengambil napas dalam-dalam. Begitu banyak ya cerita kita berdua. Kita? Kita siapa? Apakah aku terlalu egois untuk menyebut kata ‘kita’?. Kalau kamu tidak setuju, aku bisa mengeditnya kemudian. Tenang saja. Emm, bagaimana kamu tahu aku menyebut kata ‘kita’? Akupun tidak memberitaumu sekecil informasipun tentang tulisan ini.
Pada akhirnya aku cuma ingin bertanya. Kamu, apa kabar? Apakah kegiatanmu di luar sana mengepungmu, menyibukkanmu? Aku tak berani menyapamu setelah kejadian itu. Aku takut mengganggumu. Lalu, hanya lewat tulisan ini aku menyapamu. Apa kamu keberatan?
Aku cuma rindu, itu saja. Rindu suara mu diujung handphone sana. Rindu tawa renyahmu. Rindu tingkah lucumu yang kadang membuatku terpingkal-pingkal bahagia. Rindu saran-saran terbaikmu. Rindu ketidakfokusanmu. Aku rindu semuanya. Bolehkah kita berjumpa sekali lagi, walau hanya di alam mimpi?
Kali ini, hujan meresonansikan mu, iya kamu. Kejadian bersamamu berkelebat silih berganti begitu saja. Tanpa bisa aku hentikan. Aku hanya bisa menikmati saja. Menikmati kenangan silih berganti yang berputar-putar di otak. Entah sampai kapan. Apakah saat tetes hujan terhenti, resonansi nya pun ikut terhenti pula. Kamu, bisa menjamin tidak?
Aku terhenyak. Mengambil napas dalam-dalam. Begitu banyak ya cerita kita berdua. Kita? Kita siapa? Apakah aku terlalu egois untuk menyebut kata ‘kita’?. Kalau kamu tidak setuju, aku bisa mengeditnya kemudian. Tenang saja. Emm, bagaimana kamu tahu aku menyebut kata ‘kita’? Akupun tidak memberitaumu sekecil informasipun tentang tulisan ini.
Pada akhirnya aku cuma ingin bertanya. Kamu, apa kabar? Apakah kegiatanmu di luar sana mengepungmu, menyibukkanmu? Aku tak berani menyapamu setelah kejadian itu. Aku takut mengganggumu. Lalu, hanya lewat tulisan ini aku menyapamu. Apa kamu keberatan?
Aku cuma rindu, itu saja. Rindu suara mu diujung handphone sana. Rindu tawa renyahmu. Rindu tingkah lucumu yang kadang membuatku terpingkal-pingkal bahagia. Rindu saran-saran terbaikmu. Rindu ketidakfokusanmu. Aku rindu semuanya. Bolehkah kita berjumpa sekali lagi, walau hanya di alam mimpi?
Komentar
Posting Komentar