***
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh”
Kali ini ceramah diawali dengan salam. Duduk terdiam tak
bertingkah, itulah aku. Di samping kiriku adikku, sementara
di samping kananku seorang ibu. Ibu tersebut ditemani sang anak. Anak laki-laki
berusia lima tahunan. Tinggi kurang lebih satu meter. Mengenakan baju koko
berwarna merah tua. Giginya berjajar rapi. Kulitnya putih bersih. Alisnya
tipis.
Aku mulai bosan. Menggerakkan tanganku, kakiku yang
mulai kesemutan. Memandangi sekitar dan anak kecil tersebut tak luput dari
sapuan pandanganku. Kuamati terus gerak-geriknya. Si anak tersebut sepertinya
mulai bosan. Berjalan kesana kemari untuk mengusir rasa bosannya. Si anak
tersebut juga mengajak ibunya bercanda. Namun, ibunya hanya dia saja. Lebih
memfokuskan mendengar ceramah. Sianak tersebut berkali kali melakukan upaya
demikian. Namun ibunya juga berkali-kali menghiraukannya. Aku tak kuasa menahan
tawa. Namun, karena situasi yang tak memungkinkan untuk tertawa. Aku hanya
menahan dengan ekspresi tak karuan. Kulihat anak tersebut mengamatiku. Kulihat
balik. Mukanya memerah padam. Aku cepat-cepat mengalihkan pandanganku.
“Buk buk, mukanya jelek” Kira-kira kedengarannya seperti
itu. Setelah kuterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.
Aku hanya terkesiap mendengarnya. Lebih jahatnya lagi,
sambil berkata demikian ia menunjukku dengan nada histeris. Aku yakin, satu
mushola mendengar lebih dari sekedar jelas. Mengalahkan suara penceramah yang
menggunakan alat bantu pengeras suara. Tingkahnya membuatku tak tahu harus ku
taruh kemana lagi mukaku.
Untuk kali ini, misi belum seutuhnya terlaksana~
Yogyakarta,
15 Ramadhan 1436 H/ 2 Juli 2015
16:00 WIB
Komentar
Posting Komentar