Hujan
mengguyur desaku untuk pertama kalinya setelah kemarau panjang. Namun telah
berhenti beberapa menit yang lalu. Aku menyempatkan diri untuk berjalan
mengelilingi kampung. Bunyi kecipak air serta tawa anak kecil yang berlarian membuatku
tersenyum. Aku berhenti di atas jembatan. Di bawah sana, aliran sungai yang
tidak terlalu deras terombang ambing sebuah perahu kertas. Tak ketinggalan daun
talas yang diatasnya terdapat beberapa tetes air hujan melaju dengan kencang.
Menabrak batu lalu tenggelam.
“Sini
Dim, cepat”
“Kenapa
Yud?” Dimas tak kalah lantangnya membalas teriakan Yuda.
“Ada
layang-layang. Tapi Cuma kerangkanya saja, hahaha” Yuda tertawa
terpingkal-pingkal. Kerangka yang ditemukannya patah, sekali diangkat ke udara.
..............
“Aku
bisaaa. Aku bisa menerbangkan layang-layangku. Hahahaha” disusul tawaku yang
mirip kuntilanak. Sementara, keringat terus mengalir dari wajahku. Aku
mendongak ke atas. Mengikuti arah kemana terbangnya layang-layangku. Ingin,
layang-layangku mengudara sampai ke gugusan bintang jauh di atas sana.
Perkenalkan, namaku Tya. Gadis berumur
11 tahun. Tetapi itu beberapa tahun yang lalu. Hobiku bermain sepeda,
layang-layang, ataupun permainan lainnya yang mengeluarkan keringat namun tetap
asyik. Namun, untuk saat itu aku masih duduk di bangku putih merah. SD, yap
benar sekali.
..........
Kali
itu, aku mengenakan celana selutut khas tentara. Iya, doreng hijau. Dipadu
dengan kaos hitam yang agak kebesaran. Rambutku ku kuncir satu di atas tanpa
poni. Jika aku mengenakan topi, banyak yang mengira aku ini anak laki-laki.
Apalagi saat di belakang punggungku terdapat layang-layang. Mirip sekali dengan
anak laki-laki.
Parahnya,
dulu saat di kandungan ibuku aku bergerak aktif. Itu kata ibukku dulu.
Mendengar seperti itu, kakak laki-lakiku senang sekali. Akan mendapatkan adik
laki-laki. Nah, beberapa bulan lahirlah aku. Ternyata perempuan. Aku sudah
membayangkan ekspresi aneh dari kakak ku, hehe.
Saat
itu aku duduk di bangku Taman Kanak-Kanak untuk yang pertama kalinya. Rambut
yang pendek dan anting-anting yang hanya satu. Satu tidak di pasang karena
telingaku saat itu sedang sakit. Saat pembagian seragam aku biasa saja. Tak ada
keanehan sama sekali. Begitu pulang, aku di jemput ayahku. Ayahku memeriksa
semua seragam yang telah di bagikan tadi. Alhasil bukan rok yang aku dapat,
melainkan celana. Mengingat saat itu aku hanya tersenyum sendiri. Ayahku lalu
menukarkan seragam TK ku kepada guru yang ada saat itu.
Tujuanku
saat ini yaitu sawah di sebelah selatan desaku. Disana tempat favoritku untuk
main layang-layang. Mayoritas hanya anak laki-laki yang bermain layangan. Hanya
aku sendiri yang perempuan. Huhh, aku memang terlalu istimewa, haha. Aku
berjalan menuju sawah. Tiap kali bertemu
tetanggaku selalu saja aku disindir. Anak perempuan main layangan lah, Tak
pantas lah, dan tak tak tak banyak lagi yang tiddak dapat aku sebutkan satu
persatu. Namun, aku tipe anak yang cuek saat itu. Aku hanya berfikir.
Tetanggaku belum pernah merasakan sensasi bermain layangan, haha.
Setiap
angin berhembus, aku berlari kecil-kecil untuk menerbangkan layanganku. Apabila
sudah stabil gerak geriknya aku hanya tinggal duduk. Jika ingin terbang lebih
tinggi lagi, aku tinggal mengulur saja benangnya. Mau layangan terbang rendah?
Tarik saja benangnya. Tak terlalu sulit bukan.
Hari
semakin sore. Pemandangan waktu senja semakin indah saja. Kemilau oranye selalu
membuatku betah terpaku, disini. Ku tarik cepat benangku. Menggulungnya tak
beraturan. Samar-samar suara adzan semakin jelas terdengar. Aku mulai
mempercepat langkah pulang.
Komentar
Posting Komentar