Langsung ke konten utama

Katanya sih, Angker!



Hari itu tanggal 2 Bulan Mei 2015. Tiga hari lagi Kemah Bakti yang kedua akan dilaksanakan. Sementara itu, baksos belum selesai di kemas. Bahan makanan tertumpuk di sanggar. Kantong plastik bertebaran. Tongkat tak beraturan.
***
Kunci sanggar sudah di buka. Kami berempat melepas sepatu lalu membuka perlahan bahan baksos. Siang ini pukul 14.00 WIB. Suasana sekolah begitu sepi karena Hari Sabtu. Semua siswa hanya berangkat sejam dua jam. Sanggar terletak di bagian utara Ruang Guru. Iya, ruangan paling utara. Di samping kanan sanggar adalah ruang gudang. Ruang gudang yang sepi dan agak gelap memang jarang dikunjungi. Sebelah kanannya lagi ruang gudang adalah ruang alat praktikum. Labu ukur, erlenmeyer, corong pisah, beakerglass, dan masih banyak lagi. Samping kiri sanggar terdapat ruang seperti ruang tamu. Lantai yang kotor. Kursi yang rusak beraturan dan berdebu. Menambah suasana kian sepi. Entah siapa yang sedang duduk disitu. Aku tak melihat apapun.
Ruang sanggar dulunya ruang guru. Sejak pembangunan gedung paling selatan. Ruang guru yang memanjang. Kini di bagi menjadi dua ruangan sama besar. Sebelah timur dan barat. Berbekal triplek, tersekatlah ruangan tersebut. Sanggar mendapat bagian yang barat. Kini ruangan sebelah timur kosong. Tak ada lampu. Tak ada apapun. Yang ada hanya cahaya matahari yang masuk lewat sela ruangan saat siang tiba. Apabila sore menjelang, yang terlihat hanya kegelapan.
Suasana kian sepi tatkala tak ada percakapan sama sekali. Tangan kami sibuk dengan pekerjaan kami sendiri. Membuka kantong plastik, memasukkan bahan, meneliti bahan yang dimasukkan, lalu menalinya. Aku sibuk menata dan menghitung kantong yang siap dimasukkan ke dalam kardus.
Sanggar, ruangan berukuran 3,5m x 6m. Beraalaskan karpet merah. Pintu dua pintu. Almari yang terisi arsip, kompas bidik, absen, dan semua peralatan pramuka. Tak lupa tongkat disatukan dengan wadah kardus besar. Papan tulis yang menggantung di sebelah barat. Kipas angin yang melekat di dinding. Dan juga ada satu kursi di dekat pintu. Konon katanya, ada yang duduk di kursi itu. Tapi, aku tak melihatnya. Apabila kita keluar dari sanggar, lorong yang panjang dan gelap akan terlihat langsung di sebelah timur. Bila melihat sebelah barat, terlihat pula lorong yang terang. Lorong tersebut hanya memiliki lebar satu meter.
“Ya, tolong ambilkan kantong plastik dong” Winda, temanku meminta tolong kepadaku.
“Oke, ini Win” Aku mengulurkan tanganku yang memegang beberapa kantong plastik.
“Bentar lagi kan kemahnya? Tapi ada acara yang masih belum dipastikan” Endani menyela.
“Iya. Emang sulit membuat acara beginian” Jawabku.
“Eh sanggar kok sepi sih? Nggak ada anak DA yang kesini lagi kah? Sekedar nengok keadaan sanggar” Muthi menanggapi dengan tangannya yang lincah memasukkan bahan makanan ke kantong plastik.
“Enggak Mut. Kayaknya cukup kita aja, hehe” Aku sedikit tertawa.
“Katanya sih, sanggar ini angker. Benar gak sih?”
“Enggak tahu”
“Eh, mbok jangan ngomong topik itu deh. Gak tahu apa? Ini sanggar sepi. Kita cuma berempat. Cewek semua lagi”
“Bulu kudukku agak merinding eh”
Kami semua terdiam. Menengok kanan kiri. Suasana sepi. Hanya terdengar kipas angin yang menyala.
“Ya, kamu jangan ngelamun dong”
“Aku nggak ngelamun kok. Aku sedang mengamati aja”
“Kamu nggak lihat apa-apa kan?”
Aku tersenyum.
“Enggak”
Kemudian aku berjalan dengan muka serius. Aku mendekati kaca di sisi selatan sanggar. Aku melihat sisi timur luar sanggar. Kusipitkan mataku agar lebih jelas.
“Aaaaaaaaa” Aku berteriak sekencang mungkin. Aku terduduk dengan tangan meraih karpet. Wajahku pias ketakutan.
Semua temanku refleks ikut berteriak. Ku lihat wajah mereka satu persatu. Bingung sekaligus takut. Detak jantung mereka sampai terdengar di telingaku.
“Kamu kenapa ya”
“A a a a ku melihat sosok seorang laki-laki”
“Di di di manaa?”
“Itu di bawah kaca itu” Aku menunjuk kaca di sebelah selatan dengan ketakutan.
Winda berjalan perlahan mendekati kaca. Mengintip perlahan. Lalu kami semua berteriak. “Aaaaaaaaaaa”. Sesosok laki-laki jangkung memperlihatkan semua barisan giginya. Mulutnya menganga siap menerkam kami. Tangannya menempel kaca. Mencakar kaca tak beraturan.Matanya terbuka lebar-lebar. Wajahnya begitu seram. Kami benar-benar ketakutan. Kami dan sosok itu hanya berbatasan kaca.
“Fuaaddddd”
Aku berlari keluar dengan menenteng sepatuku. Tanganku telah siap melemparkan sepatu ke arah larinya Fuad.

Komentar