Langsung ke konten utama

Hukuman



Sangga kami sampai di sebuah jembatan di Sleman. Tak ada orang sama sekali. Berarti, kami sangga pertama yang tiba di lokasi. Padahal, kami berangkat pada urutan ke empat. Tiap urutan diberi jeda sekitar lima menit agar sangga selanjutnya boleh memulai perjalanan. Cuaca yang terik membuat perjalanan lambat. Namun, dengan semangat, cuaca terikpun tak akan jadi halangan.
Setibanya di lokasi, gemericik air sungai menyambut kami. Tebing yang tinggi, pepohonan yang hijau, dan tenangnya aliran sungai membuat suasana semakin damai. Sungai ini memang jernih, tampak ikan sungai berenang ketepian lalu berenang entah kemana. Rasa-rasanya aku ingin menceburkan diri ke sungai. Bukan bunuh diri, bukan. Tapi untuk melepas penat juga lelah.
Perjalanan belum usai. Masih ada tugas yang belum terselesaikan. Setelah sampai, kami disuruh membuat bivak dan memasak untuk makan siang. Patok, tali, dan tongkat dipersiapkan. Tak lupa peniti dan jas hujan model batman juga dikeluarkan. Tak sampai sepuluh menit, bivak sederhana sudah jadi.
“Yak, tolong ambilkan berasnya”
“Oke, ini” Aku mengulurkan plastik berisi beras
Aku mengeluarkan bahan makanan dan peralatan masak yang kubawa. Sendok, tempat makan plastik, mie instan, tempe, dan beberapa lembar sawi.
“Ada yang bawa kertas minyak gak” Mega bertanya.
Satu sangga Tarantula menggeleng.
“Hah? Jadi cuma aku yang bawa tempat makan?” Aku heran.
Beras yang telah dicuci Oca, diberi air secukupnya lalu dimasak diatas kompor gas. Bukan gas yang 3kg ataupun 12kg. Melainkan gas yang ditempatkan pada tabung seukuran pilok. Kompornya pun kecil. Beberapa menit kemudian air dalam beras yang dimasak habis. Aku lalu mencicipi. Masih mentah.
Jam menunjukkan pukul 12.30. Perutku sangat lapar. Demikian juga temanku. Alhasil mie instan dua bungkus ludes dimakan mentah-mentah.
“Sekarang kumpul di sebelah sana. Bawa makanan yang sudah dimasak tadi”
Aku hanya tersenyum. Perutku sudah kenyang. Tak perlu makan bersama, begitu fikirku. Semua makanan di taruh diatas daun pisang. Aku terus mengamati makanan tersebut. Tiba-tiba makan di campur aduk jadi satu di atas daun pisang. Aku hendak muntah dengan pemandangan seperti itu. Begitu aneh, agak jijik.
“Anak analis gak berlaku disini yak” Oca membisiku.
Aku hanya menelan ludah penuh keheranan.
“Semuanya makan, tanpa terkecuali”                                  
Aku menatap kanan kiri. Aku benar-benar tak tega, melihat nasi, sayur kangkung, tumis tempe, mie goreng, mie rebus di campur jadi satu. Tak beraturan. Aku hanya mencicipi tumis tempe, selebihnya mundur. Melihat pemandangan tersebut, perutku menjadi kenyang sekali. Lalu berubah menjadi mual. Aku mundur beberapa langkah. Aku tahan hingga aku tak muntah hingga mataku berkaca-kaca. Akhirnya makanan diatas daun pisang habis juga. Dilumat habis teman-temanku.
***
“Semuanya kesini dalam waktu sepuluh detik. Satu dua tiga...”
Semua peserta dikumpulkan di tengah sungai. Aliran sungai kali ini tak terlalu deras. Kami baris menurut sangga masing-masing.
“Tutup mata kalian dengan slayer yang kalian kenakan”
Aku menutup mataku. Dunia begitu gelap, untuk sekarang. Cipratan air membasahi slayer ku. Pasti ada oknum dibalik itu. Aku benar-benar tak menyukai tindakan ini.
“Jawab pertanyaan kakak dengan jujur”
Suasana hening. Hanya terdengar aliran sungai.
“Siapa tadi yang makan duluan namun belum diperintahkan?”
Suasana kembali hening.
“Ayo jujur kak. Tadi aku lihat banyak yang makan duluan”
Suara tersebut berbeda dengan suara pertanyaan tadi. Kedengarannya seperti mengejek. Aku benci ini. SE NI O RI TAS. Aku semenjak tadi mengangkat tangan. Karena aku juga melakukannya.
“Oke, ada satu dua, ada enam orang”
Ini pasti sangga Tarantula semua, batinku.
“Silahkan jongkok, yang tadi makan duluan”
Aku kaget. Aku tak membawa baju ganti.  !@#$%^&*()

Komentar