Langsung ke konten utama

Bersyukur #9



“Prittt prit prittt prit”
“Prit prittt”
“Prit Prittt Prit”
Aku mendengar seksama. Lalu ku tulis dalam kertas. Saat ini aku sedang di dalam sebuah lingkaran. Kanan kiriku adalah teman dari sekolah lain dan sekolahku. Kami mengenakan baju lapangan yang berarti siap melaksanakan tugas dari Kakak Pembina. Sandi morse telah usai di berikan. Pemberitahuan lewat morse pula sudah selesai. Kami lalu menerjemahkan per huruf. Dengan muka tak percaya, aku membacakan terjemahannya kepada temanku. Lalu, kami baris di depan Kakak Pembina. Melakukan penghormatan lalu laporan dan menyerahkan tugas. Sangga Tarantula, berada di nomor ke empat untuk memulai start. Seluruhnya berjumlah lima sangga. Setiap keberangkatan per sangga di beri waktu jeda lima menit. Yap, dua puluh menit setelah keberangkatan sangga pertama.
Dua puluh menit berlalu sudah. Kami berenam, Sangga Tarantula segera berjalan sesuai soal dalam morse tadi. Tangan kanan yang membawa tongkat. Identik sekali dengan anak Pramuka. Satu kilometer perjalanan awal, tasku terasa berat. Padahal, aku hanya membawa air mineral satu setengah liter, patok berjumlah dua, jas hujan model batman, mukena, alat tulis, sayur dan lauk untuk makan siang, sendok, tempat makan, tali pramuka sepuluh meter, dan atasan baju pramuka. Aku tak boleh menyerah.
Sepanjang jalan, kami ibarat tontonan. Semua pengendara menatap kami dengan tatapan lebih dari sekedar aneh. Apalagi saat lampu merah. Tak kuhitung beberapa pasang mata yang melihat dengan tatapan anehnya. Kami tiba di lampu merah pertama. Kulihat dengan jelas seorang lelaki berumur kira-kira setengah abad berjalan tertatih kesusahan. Warna kulitnya kecoklatan. Tampak sekali, kulitnya begitu akrab dengan sinar matahari. Gurat di wajahnya kelihatan. Menandakan beliau kerap kali dengan kata bekerja keras. Beliau berjalan menghampiri tiap pengendara yang berhenti. Kedua tangannya membawa beberapa koran. Beliau adalah seorang penjaja koran.
Di trotoar terdapat tas beliau yang masih ada koran yang belum laku pula. Pemandangan kali ini benar-benar membungkam mulutku. Hatiku seperti disayat sembilu. Perih sekali. Beliau, dengan keterbatasan fisik tak mau hanya menadahkan tangan. Beliau bekerja keras dengan caranya. Aku jadi malu pada diriku sendiri. Anak muda yang diberi kecerdasan, kesehatan, fisik yang lengkap yang mudah mengeluh. Aku benar-benar malu. Beliau mengajarkan ku untuk bercermin. Terima kasih Pak. Terima Kasih untuk pelajaran tak ternilai ini. Tiba-tiba dadaku begitu sesak.
Aku jadi teringat temanku yang satu kelas denganku. Kami, kelas sebelas ada tugas ceramah tiap pelajaran agama. Aku masih ingat, temanku mengatakan dalil berikut“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”. Temanku mengangkat tema bersyukur. Aku sekarang tersadar. Pengalamanku saat ini menamparku berkali-kali. Mengingatkanku untuk bersyukur. Aku bersyukur. Kali ini, aku masih diberi kesempatan untuk bersyukur. Alhamdulillah.
Aku tak lupa dengan pengalaman itu. Kami kemudian melanjutkan perjalanan. Siang ini, matahari bersinar cerah. Keringat mulai menetes perlahan. Sementara baju bagian belakang sudah basah oleh keringat. Tetes demi tetes air mineral yang kami bawa mulai berkurang.
Kami beristirahat di tepi jalan. Masih saja. Tatapan aneh dari pengendara. Meluruskan kaki, meneguk sisa air, dan mengembalikan tenaga. Kakiku terasa lebih padat. Ini efek jalan kaki. Perlahan-lahan beban tas berkurang. Namun, perjalanan  masih harus dilanjutkan. Sepanjang jalan, kami satu sangga saling menyemangati. Benar-benar kawan yang baik. Ini yang paling kusuka. Aku tak pernah ditinggal meski aku mengekor di belakang.

Komentar