Ternyata
sore itu udara dingin. Tetapi itu menurutku, entah orang lain. Mungkin beda.
Namun, kali ini udara semakin dingin saja. Dengan sepatu, rok hitam, kaos
lengan panjang berwarna hitam, serta kerudung berwarna hitam pula aku
mengendarai motor melewati gerbang sekolah. Sisi sebelah kiri gerbang ada
satpam yang selalu siap menyeberangkan siswa di sekolahku. Lalu, aku melesat
kencang begitu lampu hijau di depan sekolahku menyala.
Di
jalan, aku berfikir keras. “Aku harus kemana lagi. Aku benar-benar lelah.
Suaraku telah kukuras habis di GOR tadi. Kakiku terasa lemas mengisyaratkanku
untuk istirahat. Apalagi besok Hari Senin, 25 Mei 2015. Ulangan Kenaikan Kelas.
Ini benar-benar gila. Mata Pelajaran Kimia sebagai gong pembukaan. Reaksi
redoks, koloid, Deret Volta, pH, sel Elektrolisis aaaaaa semuanya terasa
membayang-bayangiku.”
Pekerjaan
ini harus selesai hari ini. Harus. Lalu di perempatan Gading ku gerakkan
motorku ke arah utara. Yap, Alun-Alun Kidul namun tanpa teman seorangpun. Cukup
ditemani buku dan pena warna pink ungu. Aku harus berani, harus!!!
Langsung
saja ku parkirkan motorku di tempat parkir. Jam menunjukkan pukul 16.30 WIB.
“Ini waktu yang cocok” Aku tersenyum senang. Anak kecil, anak muda, semuanya
ada. Aku tidak menyangka suasana akan seramai ini. Aku lupa. Benar-benar lupa.
Entah sudah berapa tahun aku tidak mengunjungi tempat yang satu ini, Alun-Alun
Kidul.
Dulu,
beberapa tahun yang lalu. Aku, adikku, ayahku, dan tentu saja Ibukku sering
mengunjungi tempat ini. Kami mengunjungi ketika sore menjelang. Aku tak pernah
lupa, arum manis adalah makanan yang wajib kubeli. Warna pink pula. Semua
kenangan berkelebat begitu saja ketika aku menginjakkan tanah lapang berumput
ini.
Nah,
itu sasaranku. Mataku melebar, senyum terkembang. Seorang anak laki-laki yang
tingginya lebih tinggi dariku. Sedang menyendiri? Hah sedang menyendiri? Ini kesempatan
emas. Aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.
“Halo
dek” sapaku.
Dia
hanya tersenyum tipis. Kulihat, dia sedang duduk dengan mengamati kakinya yang
terluka. Ia membalas senyumku. Aku agak panik ketika ia akan menghindar dariku.
Mungkin ia kurang nyaman dengan tampilanku yang serba hitam. Tenang, tenang
saja, aku bukan dari tempat duka. Aku baru saja pulang dari ‘supporteran’.
Kudekati
lagi. “Kakinya kenapa dek? Dengan sok akrab aku mulai beraksi untuk membuatnya
nyaman dengan kehadiranku.
“Baru
luka mbak, tadi habis main bola” Jawabnya pelan.
“Ohhh,
suka main bola ya?”
“Iya”
Ia mengamati lukanya lagi.
“Oh
ya, kenalan dulu. Namaku Tya. Lha kamu namanya siapa?” Aku berusaha mencari
banyak informasi untuk ku buat tulisan ini.
“Rifqi”
“Oooo
Rifqi. Rifqi sekolahnya dimana?” Kucoba menhilangkan rasa canggungku terhadap
orang yang baru saja ku kenal. Lalu Rifqi menjawab pertanyaanku. Rifqi
bersekolah di sebuah SMP di Kota Yogyakarta. Ia duduk di bangku kelas tujuh.
Aku bersorak dalam hati. “Yessss”.
Aku
bingung. Duh, aku belum menulis list yang harus kutanyakan. Bagaimana ini?
Ayolah berfikir, berfikir. Aku kehilangan ide. Kulihat di samping Rifqi
tergeletak sepeda berwarna merah dan juga air mineral.
Aku
mengamati suasana sore ini. Banyak penjual balon, es goreng, dan wedang ronde.
Sementara itu, ada anak kecil yang berlari-lari menerbangkan layangan. Duh,
kalau masalah bermain layang-layang aku pun juga bisa, hehe.
“Kalau
boleh tahu, hobinya Rifqi apasih?” Aku mulai menemukan kata.
“Main
bola mbak,hehe” Agaknya Rifqi sudah tidak terlalu canggung terhadapku.
Aku
kembali menengok sisi tengah Alun-Alun Kidul. Suasana masih sama. Teriakan anak
kecil yang bahagia serta keadaan yang ramai.
Komentar
Posting Komentar